Jakarta – Negara sangat penting menegaskan kembali bahwa prinsip Persatuan Indonesia adalah basic (dasar) yang dahulu betul-betul dihadirkan untuk menyatukan dalam mengatasi beragam tantangan. Hal itu terkait dengan masalah ekonomi, suku, agama, dan masalah politik di Tanah Air.
“Jangan sampai kita dipisahkan dengan warga dunia melalui hadirnya ideologi-ideologi asing yang ingin memecah belah kita maupun kita dengan Indonesia kita,” kata Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dalam perbincangan dengan topik ‘Revitalisai dan Reaktualisasi Pancasila’ di sebuah stasiun televisi swasta dua hari lalu.
Menurutnya, masalah apa saja harus betul-betul diwaspadai, seperti beragam konflik yang ada karena dikhawatirkan di balik itu ada kepentingan untuk mengadu domba.
Dia membenarkan, harus diwaspadai penjajahan gaya baru dengan mengadu domba, yang bisa saja dalam bentuk ujaran kebencian dan fitnah. Bila hal ini tidak diwaspadai bisa jadi memecah belah karena sesama anak bangsa mulai terjebak saling mencurigai, saling tidak menghormati, saling mencaci, saling menfitnah. Keadaan ini kalau dibiarkan sangat dahsyat dan jahat memecah persatuan bangsa.
Mantan Presiden PKS itu mengakui bahwa perbedaan dan kemajemukan yang diwariskan founding fathers bangsa lebih baik dijadikan kekayaan daripada menjadi rintangan dan tantangan.
Mengenai musyawarah dan mufakat, katanya, kalau diletakkan pada praktik berkonstitusi, negara ini sesungguhnya masih mayoritas bermusyawarah. Kalangan DPR misalnya, bermusyawarah ketika membuat undang-undang. Demikian juga ketika MPR mengamendemen UUD 45, melakukan musyawarah. Pemerintah dan DPR ketika membuat undang-undang juga bermusyawarah.
Tapi, kalau terjadi deadlock tentu saja akan diambil voting. Suara terbanyak menjadi pemenang biasanya terjadi pada pemilihan presiden dan kepala daerah yang dilakukan secara langsung sebagaimana amanat undang-undang. Kadang-kadang hal ini seolah-olah dipahami tidak sesuai dengan sila keempat.
“Menurut saya sih nggak, orang memilih presiden dan walikota sesungguhnya melalui musyawarah. Pertama, sebelum diajukan seseorang sebagai calon kepala daerah sudah lebih dulu dilakukan musyawarah. Cuma yang perlu adalah, jangan sampai dominan adu kuat di DPRD dan DPR, siapa yang kuat itulah yang menang. Jadi semua keputusan itu diambil dengan jalan musyawarah, kalau tidak ketemu barulah dilakukan voting,” ujarnya.
Mengenai pemerataan pembangunan dan ekonomi yang masih timpang, bagaimana mengoptimalkan melalui spirit sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Menurutnya, negara dihadirkan untuk merealisasikannya. Hal ini adalah perintah dari founding fathers, siapa pun pemerintah harus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
“Di sinilah sesungguhnya kata kunci bisa memastikan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan,” katanya.
Dikatakan, apa yang ada dalam Pancasila semua berjalan dengan baik kalau semuanya merasa dihormati, semua disejahterakan, dan tidak dibeda-bedakan. “Dengan demikian semua mengatakan its okey, kita berada di dalam sebuah negara yang betul-betul peduli dengan semuanya. Ini tugas negara untuk mewujudkannya, tentu dengan mekanisme perundang-undangan”.
Oleh karenanya, tegasnya, DPR dan pemerintah diwajibkan menghadirkan perundang-undangan serta ada kebijakan negara yang berpihak pada pemerataan pembangunan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Baik yang berlatarbelakang suku, agama, daerah, dan latarbelakang provinsi, semuanya harus mendapatkan apa yang disebutkan dalam sila kelima, keadilan sosial bagi semua rakyat Indonesia.
Nur Wahid menegaskan, Pancasila sesungguhnya adalah rumusan yang amat sangat gamblang, jelas bahasanya, dan tidak rumit. Tidak menggunakan bahasa Inggris yang hanya digunakan oleh kalangan pelajar, tidak juga menggunakan bahasa Arab yang hanya dipakai oleh para kiayi dan kalangan pesantren, serta tidak juga menggunakan bahasa Sanskerta yang hanya digunakan oleh para pedande.
Kelima sila menggunakan bahasa Indonesia yang sangat mudah dipahami. Kalaulah generasi muda milenia bahasanya sangat simple dan sederhana, katanya, semuanya sudah sangat jelas bahasanya dan sangat sederhana pula. Kelima sila tidak menggunakan tafsir yang rumit-rumit.
Dijabarkan, Persatuan Indonesia berbicara bangsa bersatu, bicara keadilan sosial mengenai kebaikan, Ketuhanan yang Maha Esa bicara tentang pementingan moral, etika, menghormati keberagaman dan keyakinan orang lain. Sedangkan kemanusiaan yang adil dan beradab berarti tidak melakukan kejahatan kepada orang lain sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan kepada kita.
Namun, negara harus hadir untuk memastikan bahwa Pancasila memang benar-benar dipahami oleh masyarakat yang dimulai oleh para pimpinan negara.
Diakui, jalur pendidikan merupakan kesempatan menyemaikan dasar negara tersebut kepada anak bangsa dan memang sudah ada pada kurikulum wajib PPKN. Memang, kata dia, masa sekarang dan sebelumnya ada perbedaan.
Pada masa Orde Baru penanaman nilai Pancasila dilakukan dengan indoktrinasi yang sering kali berlaku refresif. Sedangka pada masa Orde Reformasi ini tidak ada lagi penataran P4. Sosialisai Pancasila dilakukan dengan jalur dialog, informal, dialogis, dan tidak refresif.
“Nah, ini kadang-kadang tidak cukup mudah untuk menginternalisasi dan memaksa orang untuk memahami dan melaksanakan Pancasila. Di situlah perannya pendidikan,” ujarnya.