Jakarta – Kasus penangkapan remaja 18 tahun berinisial MAS di Gowa,
Sulawesi Selatan, kembali membuka mata publik bahwa ancaman
radikalisme tidak mengenal usia. MAS diduga menjadi pengelola kanal
propaganda pro-ISIS di aplikasi perpesanan, aktif menyebarkan ajakan
melakukan pengeboman tempat ibadah. MAS ditangkap Densus 88 Antiteror
Polri pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Anggota Kelompok Ahli BNPT Bidang Kerja Sama Internasional Dr.
Darmansjah Djumala menegaskan bahwa keterlibatan masyarakat dalam
melawan narasi intoleransi dan radikalisme adalah garda terdepan untuk
mencegah penyebaran paham kekerasan.
“Kita, pengguna media sosial, jangan pernah lelah untuk melawan narasi
setiap propaganda intoleransi dan radikalisme,” kata Darmansjah.
Ia menekankan bahwa perubahan pola dan pelaku terorisme harus menjadi
perhatian semua pihak. Jika sebelumnya pelaku teror umumnya laki-laki
dewasa, kini peta berubah drastis. Peristiwa bom bunuh diri di tiga
gereja di Surabaya pada 2018, kata dia, menjadi titik balik: pelaku
adalah satu keluarga lengkap, termasuk anak-anak. Sejak itu, perempuan
dan remaja juga masuk dalam kelompok rentan terpapar ideologi
kekerasan.
Karena itu, perlindungan terhadap kelompok ini menjadi prioritas utama
BNPT. Strateginya tidak bisa hanya mengandalkan aparat, tetapi harus
berbasis pada masyarakat.
“Sikap intoleran itu embrio radikalisme yang akan bermuara pada
tindakan kekerasan dan terorisme,” kata Djumala.
Darmansjah mengungkapkan, BNPT mendorong tiga pendekatan utama untuk
menangani masalah ini. Pertama meningkatkan kesadaran publik (public
awareness), mendorong keterlibatan publik (public engagement), dan
memperkuat kolaborasi antar pemangku kepentingan (stakeholders
collaboration). Ketiganya diarahkan untuk membangun ketahanan
masyarakat melalui penguatan ideologi Pancasila, keharmonisan sosial,
dan keutuhan keluarga.
Penangkapan MAS hanyalah satu bukti dari peta ancaman baru yang
semakin digital dan menyasar anak muda. Kanal WhatsApp yang ia kelola
sejak Desember 2024 berisi diskusi ekstrem soal bom bunuh diri dan
propaganda ISIS.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa ruang digital tidak netral, dan
setiap warga, termasuk remaja, bisa jadi sasaran perekrutan. Karena
itu tak cukup hanya mengandalkan tindakan penegakan hukum. Masyarakat
harus hadir sebagai peredam.
“Narasi tandingan harus digaungkan di rumah, sekolah, tempat ibadah,
dan media sosial. Kesadaran kolektif inilah yang menjadi benteng
terakhir dari radikalisme yang terus berevolusi,” tandasnya dikutip
dari viva.co.id.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!