Jakarta – Rumah ibadah adalah tempat untuk mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta. Maka siapapun yang berada di rumah ibadah, seharusnya orang yang meneladani sifat-sifat Tuhan yang penuh kasih sayang, pemaaf, penyayang, pemaaf, bukan pendendam, apalagi menebar kebencian dan kemungkaran.
“Saya prihatin bila ada rumah ibadah yang digunakan untuk menyebarkan hate speech, kebencian, kedengkian, atau permusuhan. Kalau benar, ini menjadi semacam peringatan bagi kita untuk mengembalikan tempat ibadah itu kepada fungsi utama yaitu mendekatkan diri pada sang maha kuasa, dan mempererat hubungan sesama manusia,” ujar Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH. Maman Imanulhaq di Jakarta, Jumat (20/7/2018).
Untuk mengembalikan fungsi rumah ibadah seperti masjid, lanjut Kiai Maman, masyarakat harus terus diberikan edukasi apa sebenarnya fungsi rumah ibadah tersebut. Edukasi ini sangat penting karena kalau masyarat sudah tercerahkan, mereka sendiri yang akan menghentikan bila ada oknum atau pemimpin agama yang menjadikan tempat ibadah untuk hate speech, kebencian, kedengkian, permusuhan.
Kedua perlu perbaikan manajemen masjid. Menurut Kang Maman, panggilan karibnya, langkah Itu sudah dilakukan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan beberapa Ormas, dimana masjid betul-betul berfungsi tidak hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat dimana kita melakukan pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini, sangat penting untuk melibatkan anak muda dan masyarakat secara luas sehingga masjid tidak kosong. Pasalnya, masjid yang tidak ada pengelola itu biasanya mudah disusupi kelompok radikal.
Ketiga, kata Kang Maman, perlu dirumuskan kembali tema dalam khutbah Jumat atau Idul Fitri, agar berisi muatan agama yang menjadi spirit transformasi dan perdamaian. Dengan demikian diharapkan tidak ada orang yang memanfaatkan khutbah Jumat dan khutbah keagamaan lainnya yang berisi ajakan menjauhkan umat dari nilai ketuhanan.
“Isi khutbah ini harus dirumuskan bersama agar betul-betul berisi nilai keagamaan yang substansional yaitu tentang nilai kasih sayang, gotong royong, menghargai sesama, dan bagaimana menjadikan agama untuk mendorong manusia menjadi maju, bukan mundur dengan menyuarakan kebencian, apalagi peperangan,” tukasnya.
Terkait keberadaan kelompok radikal dan intoleran, Kang Maman menilai sebenarnya mayoritas umat Islam di Indonesia masih moderat dan toleran. Tapi kelemahannya umat Islam lebih memilih diam, sementara kelompok radikal yang jumlahnya sedikit, bisa masuk secara masif dan militan.
“Mereka menggunakan masjid, pengajian, sosmed, untuk menyebarkan kebencian itu. Maka saya mengajak agar kelompok moderat ini bangkit kita kembali ke masjid sebagai tempat untuk mencerdaskan, memberdayakan, dan menguatkan ukhuwah, baik itu islamiyah, wathoniyah (persaudaraan kebangsaan). Kita bersyukur hidup di suatu kawasan NKRI dan dengan kekuatan ukhuwah kita di tengah perbedaan yang ada,” papar pimpinan Ponpel Al Mizal Majalengka ini.
Sebenarnya, lanjut Kang Maman, bicara apapun di masjid atau rumah ibadah lainnya, boleh saja seperti soal ekonomi, budaya, politik. Yang tidak boleh itu menjadikan masjid sebagai alat politik praktis, sektarian, politik identitas, gampang menyalahkan orang lain. Seperti politik, bila bicara tentang kriteria orang yang harus dipilih, orang yang tidak korupsi, tidak narkoba, kenapa tidak?
Menurutnya, masjid seharusnya menjadi tempat efektif untuk melakukan pencerdasan terhadap masyarakat. Maka tentu sangat disayangkan, bila ada orang yang menggunakan tempat ibadah justru dipakai politik praktis untuk kepentingan sesaat.
“Tempat ibadah harus hadir dengan prinsipnya, sebagai tempat bersama untuk merumuskan kemajuan masyarakat, yang mau berubah, bersatu, dan terus menumbuhkan rasa persatuan,” pungkas mantan anggota Komisi VIII DPR RI ini.