Jakarta – Pers atau Media memiliki sejarah panjang dan andil besar dalam membangun Republik Indonesia ini. Untuk itu media harus bisa mewujudkan jurnalisme yang damai dengan menyebarkan informasi yang benar kepada publik agar persatuan bangsa ini dapat terjaga dengan baik.
“Pers harus memahami kontrak sosial politik yang dilakukan bangsa Indonesia yakni memegang Pancasila dan UUD 194 sebagai landasan dan pedoman hidup. Juga memahami pergerakan perjuangan nasional dengan selalu bersama-sama dalam membangun dan memperkuat persatuan bangsa,” ujar anggota Dewan Pers, Nezar Patria, kepada wartawan, Kamis (8/2/2018).
Dikatakan Nezar, tantangan terbesar jurnalisme saat ini yakni banyak munculnya berita palsu atau hoax. Pasalnya, hoax saat ini telah memasuki ranah dimana publik biasa mendapatkan atau mengkonsumsi informasi.
“Apalagi dunia internet sekarang ini ada banyak media-media baru yang muncul yang berawal atau bekerja seakan-akan mereka adalah media jurnalistik. Tetapi kalau kita lihat produknya secara seksama itu tidak memenuhi standar jurnalisme yang profesional dan tidak memenuhi kode etik jurnalistik,” ujar pria kelahiran Sigli, 5 Mei 1970 ini.
Dirinya mencontohkan sekarang ini banyak media yang memang muncul untuk mengacaukan informasi, mendistorsi informasi dengan motif-motif tertentu. Seperti media yang memang berupaya menggalang opini yang salah tentang suatu hal, lalu ada juga media yang punya tujuan yang ingin menggoyang NKRI atau menggoyang sendi-sendi fundamental hubungan berbangsa dan bernegara seperti isu SARA.
“Ini yang selama ini harus kita cermati dan berbahaya. Tentu saja hoax atau berita palsu itu tidak pernah sejalan dengan jurnalisme damai. Padahal jurnalisme damai itu menginginkan para pembaca dengan menyimak karya-karya jurnalisme damai dimana pembaca ingin mendapatkan perspektif yang mendinginkan konflik, mendapat perspektif yang lebih luas bahwa konflik itu merugikan banyak pihak,” imbuh Nezar.
Menurutnya, dengan adanya berita hoax termasuk media yang memuat konten radikal yang beredar di masyarakat, tentunya akan membuat hubungan antar kelompok itu menjadi rusak. Korban dari berita hoax itu bukan hanya kedua belah pihak yang berkonflik saja, tetapi juga mereka yang tidak terlibat.
Ketika ditanya apa yang harus dari Dewan Pers untuk melakukan penindakan terhadap media yang memuat konten radikal atau membawa isu SARA, Nezar mengaku kalau sesuai dengan amanah Undang-undang Pers dan juga konstitusi negara kita, Dewan Pers tidak punya hak untuk melarang kegiatan-kegitan yang dilakukan oleh warga negara dalam menjalankan dan mengungkapkan kebebasan mereka dalam berpendapat.
“Namun yang harus dicermati adalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan justru merugikan kebebasan berbicara dan berpendapat,” ucapnya.
Dririnya mencontohkan ada situs-situs yang sengaja memprovokasi hubungan antar agama. Juga menebarkan kebencian di masyarakat. Tujuannya ingin mengubah ataupun memaksakan ideologinya dengan menyerukan cara kekerasan bukan cara-cara yang demokratis
“Apalagi tujuan mereka untuk memecah persatuan bangsa, merongrong kehidupan bernegara, atau mengganti ideologi Pancasila sebagai kontrak sosial dan politik bangsa Indonesia. Saya kira hal tersebut tentunya tidak dibenarkan. Ini yang mungkin harus dicermati,” ujarnya.
Dikatakannya, media sejatinya bebas untuk mengekspresikan pendapat dan cara pandang politiknya sejauh tidak menyerukan kekerasan atau menghasut orang untuk melakukan tindak kekerasan juga menghasut orang untuk membunuh, memusuhi tetangganya dan sebagainya
“Kalau mereka ingin menyampaikan gagasan politik atau pandangannya itu bisa disampaikan kepada orang lain. Sejauh itu berada dalam kesepakatan bersama yang diatur oleh undang-undang dan sebagainya termasuk dalam platform yang sama-sama kita sepakati yaitu Pancasila dan UUD 1945, saya kira tidak ada masalah,” jelas Nezar Patria.
Peran pemerintah, menurutnya juga diperlukan untuk mengantisipasi berita hoax dan media yang suka menyebarkan isu perpecahan di masyarakat. Kalau jelas ada media yang memang menjadi corong langsung dari sebuah organisasi yang diketahui menjadi organisasi teror, pemerintah harus punya SOP untuk melakukan penindakan terhadap media-media seperti itu.
“Untuk media online bisa langsung memblokir. Karena hal itu sudah tidak termasuk dalam prinsip jurnalistik karena itu merupakan media propaganda. Dan perangkat hukum lain juga bisa menangani media yang memang menyerukan kekerasan atau permusuhan,” pungkasnya.