Jakarta – Hijrah Nabi mengajarkan kita untuk tidak selalu bersikap konfrontatif, ofensif, dan destruktif di kala konflik, tetapi mencari jalan keluar membangun perabadan yang damai dan mempersatukan. Hijrah kebangsaan yang harus segera dilakukan bangsa ini adalah bersama-sama berupaya keluar dari ancaman virus covid-19, virus politik identitas yang membelah dan virus radikalisme yang menuju kekerasan.
Ketua Pengurus Besar Al-Washliyah (PBAW), H. Mahmudi Affan Rangkuti, S.Pd.I, MEI., mengatakan bahwa pada momentum 1 Muharram ini tentunya seseorang harus banyak bermuhasabah, dan melakukan intropeksi diri apakah sudah banyak hal-hal penting dan berguna bagi manusia pada umumnya.
“Jadi artinya adalah kita belajar, kita mengevaluasi diri, sudah berapa banyak kita ini melakukan sesuatu yang berguna bagi diri, bagi lingkungan, lalu meningkat bagi masyarakat dan yang lebih besar lagi tentunya bagi bangsa dan negara. Jadi apa yang sudah kita perbuat dan berguna untuk itu semua,” ujar Mahmudi Affan Rangkuti di Jakarta, Selasa (10/8/2021).
Pria yang akrab disapa Affan ini pun mengajak, dengan momentum inilah yang juga di tengah-tengah masa berperang melawan wabah Covid-19 ini untuk mengevaluasi diri sejauh apa kegunaan seseorang ini hadir di dalam kehidupan sehari-harinya. Menurutnya, inilah momentum yang terbaik bagi seseorang untuk melakukan evaluasi diri
“Setiap manusia itu memang memiliki daya pikir dan pendapat yang berbeda-beda. Tetapi yang harus disikapi adalah bagaimana menjadikan satu irisan perbedaan pendapat ini menjadi satu persamaan pendapat,” ucap pria yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Forum Komunikasi Alumni Petugas Haji Indonesia (PB FKAPHI) itu.
Oleh sebab itu dirinya menyebut bahwa tahun baru Islam ini harus bisa menjadi momentum untuk semangat peradaban dengan persaudaraan ke-Islaman dalam menghadapi problematika bangsa dengan melangkah bersama untuk menggapai satu persamaan. Dimana seluruh komponen warga bangsa untuk bersama-sama berkomitmen di dalam mencapai tujuan daripada negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undnag Dasar (UUD) 1945.
“Dimana dalam UUD 1945 itu sudah dijelaskan tujuan bernegara itu yang pertama adalahh melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Yang kedua adalah membangun kesejahteraan umum, lalu yang ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa; dan yang keempat yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” ujar Affan menjelaskan.
Lebih lanjut, Affan juga menyampaikan bahwa para pejuang dan para founding fathers bangsa ini berasal dari berbagai suku, agama, ras dan kelompok atau golongan yang berbeda-beda. Dirinya menyebut, bahwa ketika zaman saat ini muncul beberapa pemikiran-pemikiran “yang mencoba untuk meluluhlantakkan” pemikiran yang sudah ada, maka sebagai warga bangsa yang mengerti tentang sejarah, mengerti tentang peradaban bangsa inilah yang harus berbicara dan menyampaikan kesejarahan sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan sampai dengan sekarang ini.
“Inilah yang perlu kita gencarkan kepada generasi seterusnya bahwa tidak ada sebenarnya problematika yang harus kita usung sebagai satu persoalan, apalagi dengan mengcover perbedaan-perbedaan antar SARA,” ucap pria yang juga Ketua Umum Pengurus Besar Forum Komunikasi Alumni Petugas Haji Indonesia (PB FKAPHI) itu.
Maka menurutnya, semangat hijrah inilah yang harus didorong dan dimaknai sebagai evaluasi diri ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Makkah menuju ke Madinah dalam membangun suatu peradaban baru. Dimana Madinah adalah peradaban baru yang mulanya dari Gelap Menuju Terang.
“Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri pada saat di Madinah juga membuka ‘kran’ untuk melakukan interaksi sosial kepada siapapun. Tidak hanya kepada sesama umat Islam, tetapi juga kepada umat lainnya seperti Yahudi Nasrani dan lain-lain baik itu dalam dalam bidang perdagangan, politik, sosial dan bahkan budaya,” terangnya.
Oleh karena itu, menurutnya pemerintah juga bisa berperan untuk membangun suatu paradigma untuk kembali kepada yang baik sesuai dengan UUD 1945 yang sudah lama ada. Bahkan pemerintah juga sudah membuat rule of law atau kebijakan sebagai tatanan hidup bagi warga negara selain UUD 1945 yang sudah lama ada.
Dirinya mencontohkan di tahun 2021 ini pemerintah menginginkan agar masyarakat bangsa ini bisa menuju suatu peradaban Indonesia yang tangguh dan bertumbuh, maka pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2021 tentang Sumber Daya Potensi Pertahanan Negara. Kemudian Pemerintah juga sudah menerbinkan Peraturan Perpres mengenai Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yaitu Perpres Nomor 7 Tahun 2021.
“Nah apa yang perlu kita lakukan dengan adanya peraturan tersebut? Terjemahan daripada peraturan-peraturan pemerintah dalam hal ini rule of law inilah yang menjadi tugas kita bersama untuk meriilkan dan ikut merancang suatu rodmap. Dan siapapun atau kelompok-kelompok manapun harus ikut serta di dalam perancangan tersebut,” ujarnya
Namun demikian dirinya mengkhawatirkan bahwa peraturan-peraturan pemerintah yang berbentuk hukum ini kurang tersosialisasikan dengan baik di masyarakat. ”Misalkan kita sudah baca, tetapi belum tentu yang lain sudah baca. Belum tentu juga si A mengerti, atau si A mengerti tetapi hanya baca kulitnya saja,” ucap pria yang juga menjadi anggota Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama BNPT RI ini.
Selain itu, pria yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU MUI) ini menyampaikan bahwa sudah tugas warga negara atau seseorang untuk keluar dari ancaman virus politik identitas, virus memecah belah persatuan serta virus radikalisme yang menuju kekerasan dan lain sebagainya. Dan jawabannya menurutya adalah pelaksanaan dari sosialisasi komunikasi, informasi dan edukasi harus berbasis masif, terstruktur dan sistematis
“Mungkin kita boleh mencontoh apa yang dilakukan dimasa Orde Baru dulu. Dimana ketika ada Penataran P4 lalu ada pelaksanaan daripada litsus, lalu paket untuk wawasan kebangsaan dan sebagainya. Ini memang harus digiatkan kembali. Jadi jangan sampai pola-pola edukasi ini hanya sebatas hanya sebagai proses pendukung,” ujarnya mengkahiri.