Jakarta – Propaganda kelompok radikalisme Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) harus dihadapi dengan pemahaman tentang ideologi bangsa dan agama Islam yang benar. Itu harus dilakukan secara terus-menerus melalui berbagai lembaga dan unsur masyarakat, juga melalui teknologi, khususnya media internet atau dunia maya.
“ISIS itu adalah rekayasa dan itu dikendalikan oleh kekuatan tertentu yang bertujuan merusak umat Islam. Sebenarnya mereka tidak memiliki jaringan tertentu di Indonesia, mereka hanya punya ideologi dan memegang kunci negara Islam dan hijrah. Kunci itulah yang dijadikan senjata untuk menarik pengikut untuk hijrah ke suatu negara, dimana kaidah-kaidah hukum Islam dilakukan. Padahal itu semua tidak benar,” papar Ketua Kajian Islam dan Timur Tengah Universitas Indonesia (UI) Muhammad Lutfi usai memberikan paparannya pada Seminar Nasional “Radikalisme Agama Dalam Persepktif Global dan Nasional” di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Kamis (11/6/2015).
Untuk mencegah penyebaran ISIS di Indonesia, lanjut Lutfi, pemerintah harus memiliki program, terutama untuk memperketat WNI pergi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah. Kemudian juga para ulama di Indonesia diberi wawasan tentang aktivitias gerakan radikalisme atau ISIS di dunia internasional.
Selain itu, pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus mengajak seluruh komponen dan lembaga organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis sebagai ujung tombak dalam pencegahan masuknya paham radikalisme di tengah masyarakat.
Terkait ISIS sendiri, Lutfi menilai, keberadaan mereka sebenarnya tidak jelas. “Mereka perang antara siapa lawan siapa? Tidak jelas. Begitu di Syria, kalau mereka memberontak juga tidak jelas pemberontak dari mana. Lalu bagaimana orang Indonesia kok mengaku pergi ke sana untuk jihad. Itu akal-akalan saja dan konspirasi besar pihak-pihak yang ingin menghancurkan Islam. Islam itu tidak kenal kekerasan, apalagi saling membunuh dan saling menghancurkan,” tukasnya.
Di tempat yang sama PhD Candidate dari Deakin University Melbourne, Badrus Sholeh mengungkapkan, ISIS di Indonesia itu adalah gabungan dari beberapa kelompok radikalisme sebelumnya yaitu JI, JAT, Mujahidin Indonesia Timur, dan lain-lain. Fakta itulah yang membuat ISIS cukup mudah menyusup ke masyarakat sampai mereka berhasil memberangkatkan ratusan orang ke Suriah dengan dalih jihad.
Saat ini, lanjut Badrus Sholeh, peta ISIS di Indonesia sangat luas. Mulai dari Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Lamongan Network, Link Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan Jabodetabek. Untuk itu, ia meminta BNPT sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk tidak terus bergerak bersama berbagai lapisan masyarakat, mahasiswa, dan pelajar, menjalankan program pencegahan meluasnya paham ISIS.
“Terutama mahasiswa yang paling suka membaca hal-hal yang provokatif sehingga cukup mudah untuk dipengaruhi dan diajak jihad. Ingat ISIS diproklamirkan di Indonesia melalui kampus dan pergerakan mereka sulit dideteksi. Jadi harus ada sinergi kuat untuk membendung paham radikalisme itu, baik di masyarakat maupun di jalur pendidikan. Lebih penting lagi, pemerintah harus memperkuat Undang Undang Anti Teror,” terang Badrus.
Sementara itu Direktur Deradikalisasi BNPT Prof Dr Irfan Idris mengungkapkan ISIS adalah chasing (bungkus) baru dari gerakan-gerakan radikalisme terdahulu seperti JI, JAT, dan lain-lain. Untuk itu, BNPT terus menggalakkan upaya untuk meredam mereka dengan program kontra ideologi, kontra narasi, kontra radikalisme, dan kontra propaganda.
“Kita tidak boleh lemah menghadapi mereka karena radikalisme itu sangat berbahaya. Ada banyak jalan menuju Roma yang mereka lakukan untuk mencapai tujuannya. Negara harus kuat, karena penyakit radiklaisme yang menjual agama, membuat negara itu chaos. Itu penyakit, itu ISIS bukan negara. Sama dengan penyakit, kalau kita drop, akan masuk. Kalau negara kita kuat, masyarkat kuat, kampus kuat, saya kira kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama tidak bisa masuk,” tandas Irfan Idris.