Jakarta – Lanskap pemberitaan tanah air sepekan terakhir masih berkutat pada tindakan brutal dan kejam pembantaian 31 pekerja proyek jalan Trans Papua oleh orang-orang yang disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Kata KKB sendiri mendapat sorotan publik karena atribusi pemakaian kata oleh beberapa orang dianggap tidak tepat. Bahkan ada yang berpendapat seharusnya kelompok ini disebut sebagai teroris ataupun separatis.
Menurut peneliti dan pengamat militer dari Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, penyebutan KKB itu sudah tepat, setidaknya untuk saat-saat ini.
“Ya segala macam bentuk kejahatan bisa dilekatkan padanya. Mulai maling, rampok, pembunuh, teroris, ekstremis dan sebagainya. Apalagi klo paket lengkap,” jelasnya kepada wartawan, kemarin.
Menurutnya, yang tidak tepat itu justru ketika polisi tidak menyebut KKB, misalnya pada kawanan begal yang beraksi di Bekasi. Atau hanya menyebut sebagai teroris, pada kelompok lain yang melakukan kejahatan serupa dengan yang terjadi di Papua.
Baca juga : Mantan Napiter Usul OPM Didaftarkan ke PBB Sebagai Organisasi Teroris
Teror, menurut Khairul Fahmi, ialah salah satu metoda yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Bisa dengan senjata, bahkan sekadar kata-kata. Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dibentuk entah untuk tujuan apapun, separatisme misalnya, pasti meneror, tapi peneror tak selalu KKB.
Sehingga kata Khairul, karena statusnya adalah kelompok kriminal, maka operasi pemulihan keamanan di Papua tentu saja Polri yang bertanggungjawab dan menjadi unsur terdepan. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror termasuk yang dilibatkan, itu bisa saja. Seperti pelibatan satuan-satuan Polri lainnya.
“Nah, TNI menjadi unsur pendukung, bantuan. Di mana pergerakannya tetap berada di bawah kendali dan atau koordinasi Polri,” ujarnya.
Jika TNI berada di depan, artinya mau tidak mau kelompok ini mendapat status pemberontak dengan penyebutan kelompok separatis lebih dulu. Status ini punya konsekuensi tak sederhana.
“Artinya kita mengakui mereka sebagai kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI alias pejuang kemerdekaan. Bukan lagi sekadar kelompok yang mengganggu atau mengacaukan keamanan di wilayah Papua,” jelasnya.
Dilanjutkan Khairul, payung untuk upaya penegakan hukumnya bisa berbeda. Pada level tertentu, status tertib sipil bisa dicabut dan Papua menjadi Daerah Operasi Militer. Tidak cukup di situ, perhatian internasional akan sangat tajam ke Papua. Belum lagi konsekuensi-konsekuensi lain, termasuk di dalam negeri sendiri.