Irfan Idris : Jangan Mudah Terbawa Kemasan yang Bisa Mendesdiskritkan Umat Islam

Klaten – Sebagai agama yang rahmatan lil alamin maka agama islam terpancar dari perilaku akhlak kita. Menjadi persoalan ketika  muncul keinginan  dari sebagian kelompok untuk menyatakan pendapat, bila tidak sama maka muncullah keinginan seperti Mudah Mengkafirkan seseorang atau kelompok.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof DR. Irfan Idris, MA, dalam acara Dialog & Bedah Buku dengan judul “Mudah Mengkafirkan: Akar Masalah, Bahaya, & Terapinya” yang diadakan Subdit Kewaspadaan BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah di Hotel Grand Tjokro, Klaten, Jawa Tengah pada Minggu (26/6/2016).

Pria yang juga Guru Besar UIN Alayudin Makassar ini mengatakan bahwa secara fisik sebenarnya tidak ada ciri-ciri teroris. Tetapi menurutnya, kasus-kasus teror bom yang ada di Indonesia selama ini memang telah  menyudutkan islam. Hal ini karena  pemberitaan yang besar oleh media.

“Nah, kasus-kasus terror ini terjadi karena prinsip yang sama pendapatnya dikasih kapling surga, yang berbeda jika tidak dikasih kapling surga,” ujar Irfan Idris.

Menurutnya, buku “Mudah Mengkafirkan” ini adalah buku monumental karya dari mujahid besar. Judul aslinya ini adalah jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan jihad. Karena ada beberapa hal yang bisa dilihat dari buku ini diantara tentang akar masalahnya, kenapa orang melakukan pengkafiran dan bahayanya.

“Banyak penduduk dunia  berharap Indonesia menjadi prototype Islam yang  rahmatal lil alamain, bukan laknataal lil alamin. Karena  di negeri mana lagi umat islam dunia akan berharap,” ujarnya.

Menurutnya, ada 200 definisi teroris  yang beredar dalam benak masyarakat. Namun secara fisik sebenarnya tidak ada definisi teroris. “Kita tidak boleh terbawa kemasan yang bisa mendesdiskritkan umat islam,” ujarnya.

Karena membaca buku tdak hanya siapa penulisnya, tetapi harus dilihat juga critical review juga. “Intinya narus sangat komperhensif. Ulama-ulama  kita dulu  terbiasa menulis buku. Sekarang beda, ulama-ulama sibuk kawin akhirnya lupa menulis buku. Makanya jangan kita nanti dituding membaca quran hanya sampai tenggorokan saja, karena tidak ada satupun  karya yang dibuat,” ucapnya.

Dirinya menyimpulkan ada dua point dalam buku tersebut yang menarik untuk dicerna. “Pertama larangan bersikap ekstrim dalam agama (hal 24) dimana Allah menghendaki kita beragam, buka keseragaman. Perbedaan itu sebuah dinamika, rahmat. Kedua kita mewaspadai ketergelinciran ulama (hal 95). Kalau ulama tergelincur maka sudah tidak mencerahkan. Islam akan dipermainkan,” ujarnya

Seperti diketahui, acara bedah buku ini dihadiri oleh 100 peserta  dari organisasi massa, tokoh agama, tokoh masyarakat, di Solo Raya dan sekitarnya. Acara dialog  dan bedah buku ini juga dihadiri oleh beberapa mantan narapidana kasus terorisme.