Jakarta – Kebebasan berekspresi semestinya mendorong lahirnya pengakuan hak bagi sesama warga negara untuk bersuara. Namun kebebasan ini justru kebablasan dan melahirkan praktik intoleransi dan malah menyerang orang lain yang dianggap berbeda.
Orang yang merasa berbeda kemudian dia menyerang yang berbeda, baik secara fisik dan non fisik sering dilatari karena semangat intoleransi. Karena itulah, bangsa ini harus belajar dari berbagai negara lain yang hancur karena perpecahan.
“Biasanya karena intoleransi itu lahir dari rasa ketidaksukaan terhadap sesuatu atau orang lain, maka kemudian sebenarnya mereka ini telah menolak hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Lalu kalau kemudian dari intoleransi dia mendukung kekerasan itu sudah bentuk radikal. Karena radikalisme itu yang biasa kita pahami itu adalah dukungan terhadap kekerasan,” ujar Peneliti senior di Wahid Foundation Alamsyah M. Djafar, di Jakarta, Rabu (13/11/2019).
Lebih lanjut Alamsyah menyampaikan bahwa ada ciri-ciri tertentu terhadap kelompok yang memiliki paham intoleransi. Karena tidak setiap kelompok yang berbeda atau eksklusif termasuk dalam kelompok berpaham intoleransi.
“Jadi ciri-cirinya kalau orang tersebut tidak mau menghargai hak-hak dasar bahkan menentang terhadap kelompok yang dia tidak suka. Jadi biasnya intoleransi itu terjadi kalau mereka merasa dirinya terancam, itu salah satu indikatornya . Makanya kenapa kemudian isu Cina, pekerja Cina, isu Barat itu berkembang ? Karena kelompok-kelompok ini merasa bahwa Cina sebagai suatu etnis atau suatu negara itu mengancam mereka sebagai umat Islam baik dari ekonomi maupun dari ideologi,” tutur mantan Program manager Wahid Foundation itu.
Dan untuk meresponnya orang orang yang merasa terancam tersebut bisa jadi tindakannya adalah dengan malakukan ujaran kebencian di media sosial atau bahkan bisa jadi menyamakan pemerintah atau pihak yang dianggap tidak disukai lalu kemudian mendukung kebijakan tersebut maka dianggap mendukung kan.
Pria yang juga menempuh pasca sarjana Kebijakan Publik pada School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia ini juga mengungkapkan intoleransi itu bisa muncul sebenarnya semata-mata bukan karena adanya perbedaan, tetapi lebih kepada adanya politisasi kebencian. Ada situasi dimana ada praktek politisasi kebencian terhadap kelompok tertentu,
“Yang sebetulnya menjadi masalah adalah adanya praktek politisasi, ada kelompok atau pihak yang menggunakan isu isu ketidaksukaan terhadap kelompok yang lain, bisa macam-macam seperti LGBT, bisa Kristen bisa Yahudi dan sebagainya sehingga berkembang intoleransi di masyarakat. Jadi kalau mau mengurangi intoleransi seharusnya adalah mengurangi politisasi kebencian ini yang mana di dalamnya ada actor-aktornya tetapi juga dari tren populisme” katanya.
Dan politisasi ini biasanya juga dipengaruhi oleh faktor populisme ini. Karean untuk mendorong orang mau memilih atau setuju dengan gagasan kita, tentunya perlu argumen untuk tidak memilih mereka atau lawan kita. Dan argumen atau cara yang paling masuk akal dan mudah adalah dengan mengembangkan politik kebencian terhadap kelompok tertentu itu.
“Sehingga dengan begitu mereka memiliki pendukung. Misalnya contoh di Pemilu kita kemqarin, yang satu mengatakan ‘Kalau kamu pilih A maka akan jadi radikal. Lalu kalau kamu pilih B maka Indonesia itu akan dikuasai Cina’. Jadi itu sama narasinya, itu faktor yang saya sebut sebagai populisme. Itulah salah satu factor intoleransi itu muncul akibat politisasi kebencian dan biasanya berkaitan dengan politik,” katanya menjelaskan.
Karenanya mantan Program Officer Riset dan Advokasi di Wahid Foundation berpendapat bahwa pentingnya untuk mengurangi kebencian diantara masyarakat sehingga tidak ada lagi intoleransi atau membenci orang yang dianggap berbeda. Dan untuk hal ini tentunya sangat berkaitan dengan media, utamanya media sosial.
“Jadi ketika media sosial banyak menginformasikan berita-berita berisi kebencian, berisi hoax, berisi intoleransi, maka hal itu dapat mempengaruhi atau berpotensial mempengaruhi orang untuk membenci kelompok lain berdasarkan informasi yan gada di media social itu. Artinya kalau kita mau mengurangi maka kita harus, bisa membatasi informasinya, terutama yang mengandung kebencian dan kekerasan, karena itu melanggar hukum,” ungkapnya.
Oleh karena itu alumni pasca sarjana dari Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan bahwa sudah semestinya masyarakat bangsa ini harus memperkuat persatuan dengan perbedaan yang ada. Dirinya pun meminta masyarakat harus berpikiran lebih terbuka ketika menyikapi adanya perbedaan.
“Yang perlu kita atasi itu bukan pada perbedaannya, tapi bagaimana mengelola perasaan atau sikap tidak suka tersebut. Berpikir lebih jernih ketika menemui pandangan-pandangan yang dia tidak suka, bahkan dia tentang itu. Makanya kalau dilihat masyarakat di daerah-daerah di mana perjumpaan antara yang berbeda itu tinggi, itu biasanya lebih kecil potensi intolerasninya ketimbang yang ada di kota besar tapi hanya aksesnya adalah di media sosial. Jadi perjumpaan dan dialog itu menjadi penting,” ujar pria yang pernah menjadi anggota Tim Penyusunan Draf Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Kekerasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini,
Untuk itulah Alamsyah mengatakan bahwa masyarakat harus diberikan informasi yang lebih beragam sehingga mereka tidak hanya menerima informasi dari satu pihak saja, tapi bisa dari pihak lain seperti i yang dilakukan oleh Pusat Media Damai (PMD) BNPT dalam upaya menciptakan suasana perdamaian di masyarakat.
“Saya melihat teman-teman di PMD BNPT ini sangat gencar membanjiri media sosial dengan informasi yang lebih benar dan beragam, sehingga bisa membuat suasana menjadi lebih damai. Itu cara dimana agar masyarakat mendapat informasi yang mendamaikan. Jadi bukan hanya terpapar yang kiri saja, tetapi ada yang tengah dan ada yang kanan. Kalau ada informasi baru dia bisa respon lagi. Itu juga salah satu cara menangkal intoleransi di media sosial,” tutur Alamsyah.
Lalu di dalam keberagamaan seperti Islam, Kristen dan sebagainya menurutnya, diperlukan upaya bersama untuk mendorong masyarakat terhadap pandangan keagamaan yang terbuka. Dirinya mencontohkan soal fatwa MUI Jatim tentang tidak boleh mengucapkan salam terhadap semua agama. Dimana caranya adalah kita bisa menghormati pandangan MUI Jatim ini tapi juga ada pandangan lain yang berbeda.
“Bahwa tindakan tersebut sebetulnya bukan untuk menggabungkan agama-agama, tapi untuk melakukan salam itu justru bentuk pengakuan negara terhadap semua agama. Jadi masyarakat juga diberikan informasi beragam sehingga bisa memilih, mencerna, tidak seragam,” ujarnya mengakhiri.