Wonogiri – Masalah intolerasni, radikalisme dan terorisme, tentunya menjadi masalah yang bisa merusak kebangsaan kita. Hal itu terlihat pada sesi Diskusi pada acara Dialog Kebangsaan bersama Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat dalam rangka Meningkatkan Toleransi dan Moderasi Beragama yang berlangsung di Pondok Pesantren Al Huda, Kabupaten Wonogiri, Senin (15/9/2025).
Acara Dialog Kebangsaan hasil kolaborasi merupakan kolaborasi antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) dengan Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR RI ini menghadirkan anggota Komisi XIII DPR RI, H..Hamid Noor Yasin, MM. Turut hadir juga Direktur Pencegahan BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, MA.
Dalam sesi Dialog tersebut menghadirkan narasumber Kasubdit Kontra Propaganda (KP) BNPT, Kolonel Cpl. Hendro Wicaksono, SH., M. Krim., Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., dan mitra deradikalisasi eks. Anggota Jamaah Islamiyah (JI), Arif Siswanto. Sesi dialog ini dipandu moderator Pengamat Timur Tengah yang juga Tenaga Ahli bidang Pencegahan BNPT, Prof (Hc) Dr. KH. M. Suaib. Tahir, Lc., MA.
Kasubdit KP menjelaskan bahwa seseorang menjadi terorisme itu tidak datang secara tiba tiba. Tetapi bermula dari sikap Intoleran yakni Orientis Negatif atau penolakan seseorang terhadap hak-hak politik dan sosial dari kelompok yang ia tidak setujui.
“Kemudian setelah itu naik menjadi radikalisme. Dimana suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan/Ekstrim dan mereka menyuburkan sikap intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, penyebaran paham takfiri dan menyebabkan disintegrasi bangsa,” ujarnya.
Setelah itu baru naik menjurus menjadi Teroris, dimana mereka melakukan perbuatan yang menggunakan kekerasan seperti melakukan pengeboman.
“Harus dipahami bahwa Intoleransi inilah yang menjadi menjadi titik awal akan terjadinya radikalisme dan terorisme. Berawal dari intoleransi, intolerasi akan menimbulkan munculnya proses radikalisme yang akan berujung pada aksi teror yang merupakan paham dari terorisme,” ujarnya.
Kelompok radikal terorisme selama ini menyasar perempuan, remaja dan anak anak dalam merekrut anggotanya. Oleh karena itu tiga kelompok itu menjadi hal yang rentan terpapar paham radikal terorisme.
“Dan selama ini kelompok radikal terorisme menggunakan media sosial dalam menyebarkan ajaran dan melakukan rekruitmen. Karena media sosial ini adalah tempat yang rentan bagi generasi muda karena kelompok teroris ini melakukan rekruitmen melalui media sosial,” katanya.
“Terkait adanya penyebaran artikel bermuatan ujaran kebencian, hoaks, dan masalah radikalisme dan terorisme, di BNPT sudah melakukan counter atau kontra narasi melalui Pusat Media Damai. Melalui PMD ini BNPT juga sudah memiliki Duta Damai Dunia Maya dan Duta Damai Santri yang ada di 2 provinsi yang tugasnya juga untuk melakukan counter / kontra narasi,” ujarnya mengakhiri
Sementara itu Prof Zuly Qodir mengatakan bahwa masyarakat itu memang perlu diberikan wawasan yang jauh lebih luas, seperti daya pergaulan yang lebih luas jangkauan nya sehingga mereka tidak hanya berputar di lingkungan sekitar mereka saja.
“Karena dengan banyak pertemuan dan juga bertemu dengan orang lain. Dugaan saya mereka akan mendapatkan wawasan yang itu adalah mencerminkan Indonesia memang beragam, Indonesia memang berbeda tetapi tidak berarti perbedaan itu mengarah kepada pertentangan ataupun kepada konflik,” ujarnya.
Namun demikian menurutnya, pembekalan kepaa masyarakat harus dilakukan secara berkala atau secara berkelanjutan., di mana pun berada baik itu di desa-desa ataupun di kota-kota melalui kelembagaan yang ada di pemerintah atau di dinas-dinas.
Menurutnya yang menjadi kendala masyarakat selama ini tidak bisa membedakan antara provokasi Di masyarakat pedesaan itu biasanya lebih banyak urusan-urusan yang sifatnya kebutuhan sehari-hari, sehingga begitu ada informasi yang berbeda dan tidak mendapatkan pengetahuan maka dia akan terkaget-kaget untuk ikut.
“Itu yang paling berbahaya. Gap informasi harus segera diputus sehingga antara warga yang ada di kota maupun warga yang ada di desa yang mana sekarang ini persebaran informasi demikian mudah dan juga sangat luas. Maka perlu dilakukan secara terus-menerus, melatih masyarakat supaya melek media, literasi terhadap informasi menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindarkan,” ujarnya.
Dirinya berharap pemerintah daerah, politisi dan juga tokoh agama untuk mendampingi masyarakat atau menemani mereka supaya memiliki wawasan yang jauh lebih luas sehingga tidak mudah terprovokasi.
“Walaupun sekarang kelihatannya diam-diam kegiatan-kegiatan yang sifatnya negatif itu gampang sekali tersalurkan dan tersebar. Oleh karena itu perlu ada pendampingan yang terus-menerus dan sering,” ujarnya mengakhiri.
Sementara itu mitra deradikalisasi eks. anggota Jamaah Islamiyah (JI), Arif Siswanto. Menceritakan terkait pengalamannya terjerumus menjadi kelompok radikal terorisme. Sebagai mahasiswa fakultas Sastra di salah satu perguruan tinggi negeri hingga lulus pada tahun 1992 dirinya mengatakan kalau dulu diriya sangat nasionalis.
“Tapi ketika masuk di kota tersebut saya mengikuti pengajian-pengajian termasuk di antaranya ya pengajian dan sampai satu ketika saya kemudian kalau diteorikan ada yang karena kemiskinan, tetapi sebenarnya bukan karena itu. Tapi karena idealisme,” ujar Arif Siswanto.
Lebih lanjut menurutnya, karena idealisme yang belum mengendap, kemudian bertemu dengan satu gerakan yang memang juga menawarkan idealism. Karena idealisme yang tinggi bertemu dengan tawaran idealisme.
“Kebetulan langkah-langkanya juga kita saya melihatnya bahwa ada hal yang bersifat kontrik sehingga dengan begitu menjadi oh ini benar jalan ini, sampai kemudian setelah kemudian saya melampaui satu fase-fase tertentu yang kemudian membuat saya semakin bisa menemukan jati diri. ibaratnya kalau dikatakan pak Dr Syafil Marif mainnya yang jauh lah gitu ya, kalau ketika sudah belajar banyak main jauh alhamdulillahdari usia juga semakin matang,” ucap Arif yang pernah di pidana tiga tahun penjara dan mendekam di Lapas Nusakambangan ini
Lalu dari sisi gerakan dirinya juga bukan dari ISIS dan juga bukan dari JAD. Karena dirinya juga tidak setuju dengan adanya pengeboman. Dirinya uga bukan pelaku pengeboman, tapi dirinya memang bagian dari komunitas.
“Kalau bapak pernah mendengar, namanya Jamaah Islamiah. saya termasuk dari 16 inisiator pembubaraan saja. 16 orang adalah inisiatur pembubaraan dan jamaah islamiah. Meskipun saya menghabiskan umur di jalan itu, saya memberikan manfaat kepada ribuan orang. Karena ada sekitar tujuh sampai delapan ribu orang yang antre untuk masuk ke penjara, dengan pembubaran itu bisa terselamatkan banyak. Dengan begitu, saya mensyukuri peran itu,” ujar Arif.
Menuurtnya, benar apa yang dikatakan Kasubdit KP, dimana intoleransi akan melahirkan radikalisme dan lalu juga masuk kepada aksi terorisme. Tapi bukan berarti setiap orang yang radikal itu menjadi teroris, tidak juga orang yang intoleran lalu menjadi radikal. Yang mana semua itu ada bibitnya
“Itu terjadi kalau ada niat dan ada kesempatan, itu bisa jadi (aksi terorisme). Tapi kalau misalnya ada niat, kalau tidak ada kesempatan, juga enggak jadi. Kalau ada kesempatan tak ada niat, dan tak ada kemampuan, tak akan jadi. Tapi kalau tiga ini bertemu, ada niat, ada kesempatan, dan juga ada kemampuan melakukan, jadi lah,” ujarnya mengakhiri.
Turut mendampingi Direktur Pencegahan yakni Kasubdit Pemulihan Korban Terorisme BNPT, Rachel, SH., M.Hum. Dalam acara tersebut hadir pula Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kaban Kesbangpol) Kabupaten Wonogiri,Rahmat Imam Santosa, S.Sos., M.P., yang mewakili Bupati Wonogiri yang berhalangan hadir, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Wonogiri, Krisyanto, anggota DPRD Kabupaten Wonogiri, Nyamik Saptati, S.Pd, Wawan Arifianto, S.T. Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wonogiri H. Hariyadi, S.Ag., M.Si, serta para perwakilan jajaran Forkopimda Kabupaten Wonogiri
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!