Intoleransi dalam Beragama Perlu Kebijakan Presisi dan Progresif dari Pemerintah

Jakarta – Pembubaran kegiatan ibadah Gereja Kristen di Kemah Daud, Lampung mendapat kecaman dari berbagai pihak. Hal ini membuat pemerintah daerah dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk menjamin hak beragama dan beribadah kepada minoritas pada 17 Januari lalu, sesuai arahan dari Presiden Joko Widodo.

Di kesempatan berbeda, Haili Hasan selaku Direktur SETARA Institute, menyampaikan bahwa akan ada peningkatan peristiwa eskalasi pasca presiden mengeluarkan arahannya terkait pelarangan ibadah.

“Ada kepentingan kita semua untuk mempertanyakan kewibawaan presiden dalam konteks ini karena tidak lama setelah memberikan arahan kemudian terjadi eskalasi di berbagai daerah,” ujar Halili saat dihubungi pada Selasa (21/2).

Beberapa faktor statis yang tidak terkait dengan presiden serta disinyalir menjadi pemicu peristiwa pelarangan atas kegiatan ibadah yang dilakukan agama minoritas antara lain. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

“Jadi halangan yang dikandung oleh PBM dua Menteri, memang memberikan ruang kepada begitu banyak kelompok konservatif, kelompok yang mengklaim sebagai mayoritas untuk kemudian mengekspresikan penolakannya kepada peribadatan minoritas atau pengajuan pendirian rumah ibadah yang didirikan oleh kelompok minoritas,” imbuhnya.

Namun di sisi lain ada faktor dinamis, misalnya yang secara spesifik berkaitan dengan politik di tingkat lokal atau nasional. Kondisi politik di tingkat lokal ataupun nasional juga dapat menjadi faktor dinamis yang dapat memicu peristiwa serupa.

“Kalau kita coba analisis lebih makro, selalu saja ada keterkaitan antara politik dengan berbagai peristiwa di tingkat lokal ini. Sekedar untuk merefresh saja beberapa kasus yang terjadi sebelumnya, biasanya ada irisan dengan momentum politik elektoral,” ucap Halili.

Halili menjelaskan bahwa Pilkada di Kabupaten Aceh Singkil berdekatan momentumnya dengan kejadian pembakaran Gereja di Aceh Singkil. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya irisan antara eskalasi yang terjadi dengan dinamika politik di tingkat lokal maupun nasional.

Halili berpendapat bahwa agama itu adalah kewenangan pemerintah pusat yang tidak diwakilkan melalui program otonomi daerah. Pemerintah perlu melakukan langkah yang presisi dan progresif untuk menanggulangi kasus intoleransi.

“Oleh karena itu ketika terjadi kemelut, konflik, yang terkait dengan agama, pemerintah pusat harus mengambil tindakan progresif dan tidak lepas tangan dari peristiwa yang terjadi di daerah itu,” tegasnya.

“Langkah yang bisa dilakukan pemerintah pusat diantaranya merevisi PBM, karena PBM itu salah satu yang memicu terjadinya berbagai intoleransi, maka pemerintah harus memastikan PBM ini direview,” imbuh Halili.

“Perlu upaya meningkatkan kapasitas aparatur daerah, mulai dari kepolisian sampai ke Satpol PP, karena pemerintah daerah itu tidak punya kapasitas untuk menangani peristiwa-peristiwa, misalnya penolakan pendirian rumah ibadah atau pembubaran peribadatan,” pungkas Halili.(