Gabriel Weimann dalam “Terror on the Internet: The New Arena, The New Challenges” menemukan bahwa pada tahun 1998 di internet diperkirakan hanya terdapat 12 situs kelompok teroris. Namun di 2003 nya mencapai angka 2.650 situs kelompok teroris, dan hingga 2014 sudah terdapat lebih dari 9.800 situs (Gabriel Weiman, 2016:30). Dari fakta berkembangnya situs-situs internet tersebut, pola-pola yang dilakukan kelompok teroris saat ini sebagaimana dipaparkan Agus Surya Bakti dalam Deradikalisasi Dunia Maya diantaranya adalah penyebaran ideologi melalui fasilitas website; pemanfaatan fitur media interaksi dan komunikasi seperti forum dan chatrooms, serta penggunaan media propaganda interaktif seperti youtube, facebook dan twitter.
Temuan Weimann tersebut, diikuti penelitian mendalam oleh Pakar Terorisme dan Internet Maura Conway yang dipublikasikan melalui Terrorist “Use” of the Internet and Fighting Back.” Conway dalam temuannya mencatat bahwa terdapat lima hal yang paling signifikan dalam memahami bagaimana kelompok teroris memanfaatkan internet untuk tujuan-tujuan politik, yaitu Information provision (penyedia informasi), Financing (Pendanaan), Networking (Jejaring), Recruitment (rekruitmen), dan Information Gathering (mencari Informasi). Dengan demikian, internet tidak semata berperan sebagai media propaganda, melainkan lebih jauh lagi menjadi instrumen aksi dalam terorisme itu sendiri.
Keterkaitan antara terorisme dan internet, sebagaimana laporan riset yang dipublikasi RAND Institute ditemukan bahwa internet koheren dengan aksi terorisme yang berangkat dari lima hipotesis penting, antara lain: pertama, internet menciptakan lebih banyak kesempatan bagi pengunanya untuk menjadi radikal; kedua, internet berfungsi sebagai “echo chamber” dimana individu dapat menemukan pendukung bagi ide-ide mereka dan dapat disebarkan ke individu lain yang memiliki ide yang sama; ketiga, internet dapat berakselerasi dengan proses radikalisasi; keempat, internet mewadahi proses radikalisasi tanpa perlu adanya kontak fisik, serta kelima, internet meningkatkan kesempatan untuk meradikalisasi diri sendiri atau “self-radicalization.”
Berangkat dari riset-riset diatas, bagaimana internet dan teroris berperan dalam membuat penggunanya menjadi radikal menjadi menarik untuk ditelaah. Hal ini tentu dilatarbelakangi oleh meluasnya penggunaan internet ditengah arus modernisme, khususnya dikalangan muda. Kita tidak dapat menutup mata, ketika seorang/sekelompok anak muda menjadi bagian dari kelompok jaringan terorisme global karena kepiawaiannya menggunakan internet.
Radikalisasi Online
Model propaganda terorisme baru “new terrorism” melalui radikalisasi di internet dengan menggunakan sosial media sebagaimana dilakukan Al-Qaidah misalnya, melahirkan suatu tantangan baru pada model keamanan negara. Negara pun dituntut untuk bermanuver dalam metode penanganan yang berbeda demi mempertahankan internet dari propaganda teroris. Para peneliti menemukan bahwa sistem propaganda dan rekruitmen online dilakukan kelompok teroris sejak peristiwa 11 September. Prihal ini yang kemudian mengakibatkan istilah radikalisasi online mencuat ke publik.
Radikalisasi online secara definisi adalah proses dimana individu melalui aktivitas online berinteraksi dengan menggunakan berbagai fasilitas internet, hingga menerima persepsi bahwa kekerasan sebagai metode yang tepat untuk menyelesaikan konflik sosial dan politik (Anita Peresin, 2014: 91). Fasilitas internet berupa sosial media dimana jejaring sosial, website/blog dan sarana komunikasi pribadi dan kelompok seperti chat room menjadi alat efektif teroris dalam meradikalisasi pengguna internet.
Satu sumber terkait peran sosial media dan radikalisasi di internet adalah tulisan Meagin Alarid “Recruitment and Radicalization: The Role of Social Media and New Technology.” Mengutip pemberitaan CNN, Alarid memulai pemaparannya dengan pernyataan “Kaum Extrimist-kekerasan seperti ISIS telah memiliki banyak kemajuan dalam menciptakan model jejaring global lewat dukungan media online. Internet memfasilitasi kelompok ini dalam menjalankan jejaring virtual mereka diantara keberadaan Pemerintah dan komunitas (Maegin Alarid, 2014: 13). Kutipan CNN tersebut adalah pemahaman yang cukup luas diyakini diantara media-media mainstream asing mengenai manuver kelompok-kelompok terorisme dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka dengan menggunakan internet.
Radikalisasi modern melalui instrumen media internet adalah upaya menjadikan masyarakat pengguna internet sebagai sasaran Teroris tanpa memandang jenis kelamin, tingkat pendidikan hingga status ekonomi seseorang sebagaimana ditekankan Alarid. Menurut Alarid, proses teradikalisasinya seseorang melalui instrumen media online lebih kepada rasa simpati kepada kelompok-kelompok tertentu ketika kondisi ketidakadilan dan frustasi politik ada, disanalah radikalisasi mudah untuk menyebar. Para pengguna internet yang terrekruit dapat menunjukan dukungan mereka dengan melakukan donasi material, mendownload materi-materi propaganda ekstrim, bergabung dengan kelompok jihad melalui chatrooms, atau sebatas menjadi pengunjung halaman-halaman facebook kelompok-kelompok radikal.
Dalam penelitiannya, Alarid mengemukakan temuan Critical Incident Analysis Group (CIAG) dimana internet telah memfasilitasi terjadinya dialog vital antara ide-ide ekstrim dengan pemikiran tentang keingintahuan yang dalam untuk menempati ruang virtual dimana infiltrasi aparat seperti di dunia nyata sulit terjadi. Pada kasus pasca Irak misalnya, chatrooms berfungsi menggantikan masjid dan pusat-pusat komunitas, hingga kedai kopi sebagai ruang rekruitmen para militan. Selain sosial media, internet juga memfasilitasi sarana penyebaran material-material jihad dalam bentuk majalah, seperti majalah Inspire, majalah online milik Al-Qaidah. Bahkan pelaku bom marathon di Boston pada tahun 2013 kakak-beradik Tamerlan dan Dzohkar Tsarnaev secara nyata menyebut bahwa mereka mendapat ilmu dari majalah Inspire tersebut dalam membuat bom.
Konteks Indonesia
Komjen Saud Usman Nasution ketika masih menjabat sebagai kepala Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT) menegaskan tentang meningkatnya peran media sosial yang berfungsi sebagai sarana penyebaran paham ISIS. Dikatakannya ada lebih dari 10 kelompok di Indonesia yang menyatakan dukungan pada ISIS. Melalui media sosial, kelompok ISIS, dalam proses rekruitmen orang untuk dikirim ke Suriah, menyebarkan propaganda, serta menggalang bantuan keuangan. Potensi dunia maya sebagai ruang propaganda ideologi teroris-radikalis inilah yang oleh Pemerintah harus cepat direspon melalui manuver kebijakan kontra-terorisme.
Kepala BNPT Suhardi Alius dalam pemaparannya di Forum Internastional Exhibition of Homeland Security 7th Edition di Singapura juga mengakui fenomena menguatnya virus ideologi radikal di internet, khususnya dikalangan generasi muda. Oleh karena itu, menurutnya dibutuhkan perhatian khusus terhadap dunia maya sebagai wadah penyebaran informasi dan komunikasi di dunia modern.
Para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam diskusi “Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia” bahkan mengungkap temuan bahwa kalangan muda Indonesia mengalami radikalisasi secara ideologis dan makin tidak toleran. Dalam diskusi tersebut, disampaikan bahwa penyebaran radikalisme dan perekrutan terorisme juga terjadi melalui media sosial, dimana ide-ide keras dan radikal yang berasal dari jaringan kelompok teroris disebarkan secara massif lewat internet.
Dengan perkembangan internet, kelompok-kelompok teroris tidak ingin kehilangan momennya dalam merefleksikan ide, gagasan, hingga aksinya baik sebatas publikasi sampai untuk tujuan teror menciptakan ketakutan di masyarakat. Inilah fakta ditengah kehidupan modern yang harus diwaspadai, ketika kemajuan teknologi membawa dampak negatif bagi kemashlatan bangsa itu sendiri.