Inilah Kisah Lika-Liku Pertobatan Eks Napi Terorisme

Jakarta – Mahmud Haryono alias Yusuf, lelaki perawakan kecil itu tak terlihat sangat jauh dari kesan kekerasan. Padahal, Yusuf adalah mantan napi terorisme yang pernah divonis penjara 10 tahun. Kini, ia memang telah tobat setelah menjalani masa hukuman. Bahkan ia juga aktif mengakampanyekan perdamaian. Untuk lebih jelasnya berikut ulasan kisah lika-liku pertobatannya seperti dikutip dari merdeka.com.

Teroris biasa digambarkan dengan lelaki berjenggot, pendiam, dan penyendiri. Namun citra tersebut sama sekali tak nampak pada seorang Mahmudi Haryono alias Yusuf, eks napi teroris jaringan Abu Tholut. Bertubuh kecil, Yusuf adalah seorang yang senang berbagi cerita dan terkesan lincah serta cekatan. Mungkin ini akibat dari didikan dan pelatihan yang didapatnya saat berada di Filipina.

Yusuf divonis 10 tahun penjara karena di rumah kontrakannya, Jl Sri Rejeki Semarang tersimpan bom rakitan, bahan peledak, serta 20 ribu peluru. Dalam penggerebekan 9 Juli 2003 itu, dia ditangkap bersama Luluk, Anto, dan Heru. Sementara Abu Tholut, ditangkap di Jakarta. Lelaki yang saat ini berwira usaha hanya menjalani hukuman selama 5,5 tahun karena mendapat remisi.

Sebelum bergabung dengan Abu Tholut, Yusuf telah melalui lika-liku jalan jihad. Berawal dari Jombang, kota kelahirannya, dia bergaul dengan santri lintas daerah. Yusuf yang telah menjadi santri di Ponorogo, beralih belajar di Lamongan.

“Itu sekitar tahun 1998 sampai 1999, ternyata ada keluarga besar Amrozi juga. Santrinya sedikit tapi ajarannya keras. Kita belajar tiga hari setiap minggunya, nanti balik lagi,” terangnya, Selasa (20/2).

Dalam prosesnya dia dikenalkan dengan jihad melalui brosur serta VCD, termasuk juga cerita mengenai Laskar Jihad Yogya yang berangkat ke daerah konflik di Ambon.

Butuh waktu dua tahun sebelum akhirnya ia ‘diterima’ menjadi bagian dari kelompok tersebut. Hingga pada suatu hari di tahun 2000, Yusuf mendapat perintah untuk berangkat jihad ke Poso. Hatinya girang karena cita-cita berperang ke daerah konflik kesampaian. Meski tiket, makan, dan segala keperluan ditanggung, Yusuf rela menjual motor kesayangannya seharga Rp 7 juta.

“Ya untuk pegangan, karena kan tidak tahu ujung pangkalnya perjalanan. Kami hanya diajarkan, dengarkan dan taati. Tidak boleh membantah,” paparnya.

Dalam perjalanan, Yusuf mulai gundah karena ternyata kapal yang ditumpangi hanya transit di Palu. Selanjutnya menuju Nunukan, dan berakhir di Malaysia. “Saya tidak bertanya, hanya manut sama guide karena semua identitas diri diminta. Hanya tiket yang dipegang,” jelasnya. Dari sini, bersama rombongan menempuh jalur darat hingga masuk Filipina.

Menurut Yusuf, masuk ke Filipina juga bukan hal mudah karena perbatasan dijaga ketat. Setelah melalui hutan-hutan, akhirnya mereka sampai ke perkampungan.

“Meski di gunung, kampung itu termasuk besar karena dihuni sekitar 50 ribu orang. Kalau yang dari Indonesia 50 orang, tapi terpencar karena ada dua gunung,” ingatnya. Selama tiga bulan pertama, dia mendapat latihan fisik dan pengenalan medan tanpa pegang senjata.

Hingga tentara Filipina memborbadir perkampungan tersebut. Gerilyawan MORO yang semula berada di ketinggian 900 MDPL, terdesak hingga ke 1400 MDPL. Saat itu, Yusuf mulai memegang M16 sebagai senjatanya. Sesekali juga menembakan roket. Namun, setelah tiga bulan perang konvensional, dan hingga bulan keenam melakukan gerilya serta perang hutan, Yusuf diperintahkan kembali Indonesia pada Mei 2002.

“Ya belajar secara alami, pertama nembak ya kaget. Lalu terbiasa menenteng senjata kemana saja, bahkan saat tidur,” ungkapnya.

“Kembali ke Indonesia itu juga bukan hal mudah, harus hati-hati. Hingga ada kabar pemutihan dan pemulangan TKI ilegal. Kami menyamar sebagai TKI,” imbuhnya. Dalam kepulangannya tersebut, dia tidak mendapat perintah untuk membuat konflik atau bom di Indonesia. Hanya dipesani, jika membutuhkan pekerjaan silakan menghubungi Abu Tholut di Kudus.

Setelah di Indonesia, Yusuf kembali ke Jombang. Di desa, keluarganya kaget karena dia dianggap meninggal setelah dua tahun tidak ada kabar. Dia pun merasa galau karena rentetan pertanyaan tersebut dan memutuskan menghubungi Abu Tholut.

“Dari sini saya bohong kepada keluarga. Ngomong kalau kerja di perkebunan sawit Malaysia,” jelasnya.

Setelah bertemu Abu Tholut, Yusuf diberi uang Rp 20 juta. “Kaget saya, kok baru ketemu langsung dikasih uang. Wah, saya langsung survei usaha dan kontrakan. Pernah di Lamper dan Pedurungan, hingga kontrak dua tahun di Sri Rejeki,” kata Yusuf. Dia saat itu memilih dagang barang berbahan kulit seperti sepatu, sandal, dompet, dan protector.

Hingga suatu malam di April 2003, Yusuf menerima kiriman barang dari Abu Tholut. “Satu mobil penuh itu, isinya peluru dalam koper-koper. Ada juga buku-buku bom dan dokumen lain, termasuk kartu nama Spanyol. Tapi saya tidak bertanya, segan sama Abu Tholut,” cerita Yusuf. Pengiriman amunisi, senjata, dan bahan peledak itu terjadi tiga kali.

“Menurut saya itu untuk berjaga kalau ada konflik lagi. Karena selain barang banyak, kita ngontrak juga dua tahun. Tapi itu kewenangan Abu Tholut,” paparnya. Sampai akhirnya, Abu Tholut tertangkap di Jakarta dan Yusuf dicokok di Semarang hingga harus menjalani proses hukum.

Tahun 2009 Yusuf dinyatakan bebas. Dia pun memulai hidup baru. “Pada 1 Januari 2009 saya bebas, Februari menikah,” jelasnya. Dia bertekad menempuh jihad membahagiakan keluarga dan bermanfaat untuk orang lain. Meski godaan untuk kembali terus ada, Yusuf selalu menjawabnya; terima kasih, sekarang saatnya mengabdi untuk keluarga.