Inilah alasan mengapa program deradikalisasi BNPT pasti berhasil tanggulangi terorisme

Jakarta – Terorisme bukanlah hal baru bagi indonesia, beberapa aksi teror pernah terjadi di negeri ini. Aksi terbaru terjadi pada awal Januari tahun ini, aksi itu menewaskan 8 orang –4 teroris dan 4 korban— dan diklaim oleh ISIS sebagai aksinya. Tentu ini menebar kakhawatiran terkait penyebaran ISIS di Asia Tenggara yang semakin meningkat.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru, Komjen Pol. Suhardi Alius paham betul persoalan ini, termasuk resiko yang mungkin dihadapi. Sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar keempat sedunia, Indonesia begitu memikat bagi ISIS.

“Indonesia adalah harapan besar ISIS karena negeri ini memiliki jumlah muslim terbesar di dunia,” ungkap ustadz Abdurahman Ayyub, mantan pelaku teror, Januari lalu.

Penunjukkan Suhardi Alius sebagai kepala BNPT sejak akhir Juli lalu semakin menegaskan sebuah teknik penanggulangan terorisme yang melibatkan 17 lembaga pemerintahan yang fokus membenahi akar masalah terorisme.

Dalam sebuah wawancara dengan Rappler, Suhardi menjelaskan pendekatan yang ia gunakan akan mampu mengidentifikasi dan membantu mengurangi variabel motifasi terorisme.

“Saya, sebagai kepala BNPT, akan memimpin sebuah satuan tugas khusus. Saya akan menjelaskan tugas masing-masing kementrian dan membantu mengkoordinasikan 17 lembaga lainnya, sehingga kita semua bisa bekerjasama,” ungkapnya.

Terorisme sendiri berasal dari banyak sebab, karenanya penyelesaian untuk kasus ini membutuhkan pendekatakan yang bersifat multisektoral.

Beberapa kementrian yang dilibatkan dalam upaya penanganan terorisme ini antara lain kemenkominfo, kemenag, kemenkumham, kementrian tenaga kerja, kemensos, kemendikbud, kemendagri, kemenpora, kemenhan, Polri, TNI, dan PPATK.

BNPT memang lembaga yang tugas utamanya adalah menanggulangi terorisme, namun seperti diakui oleh Suhardi, lembaganya tidak bisa bekerja sendiri. Sementara militer dan kepolisian ditugaskan untuk menangkap atau meredam para teroris, kementrian yang lain akan diajak untuk menanggulangi terorisme dengan pendekatan lunak (soft approach).

Kementrian komunikasi dan informasi misalnya, dilibatkan untuk menutup situs-situs yang menyebarkan konten radikal di Indonesia, termasuk pula terorisme dunia maya (cyberterrorism) dan rekrutmen online. Kementrian agama diminta untuk melawan terorisme dengan menyebarkan ajaran toleransi, sementara kementrian pendidikan dan kebudayaan harus melakukan pencegahan radikalisasi di kampus-kampus. Begitu pula dangan kemenpora, mereka harus memiliki program yang bisa menghindarkan anak-anak muda dari bahaya paham radikal. Pendekatan ini tentu saja cerdas; lebih proaktif, tidak lagi reaktif.

“Jika kita bandingkan, Indonesia telah berhasil mengurangi jumlah serangan teror secara efektif. Indonesia punya 250juta lebih penduduk. Hanya 500 orang yang bergabung dengan ISIS. Negara-negara lain yang lebih kecil, punya 200an orang yang bergabung dengan ISIS,” jelasnya. “tapi tentu, kita perlu mengurangi angka yang 500 itu,” lanjutnya.

Terlepas dari pendekatan komprehensif untuk penanggulangan terorisme, Suhardi menegaskan baha terorisme adalah tantangan global. “Kita harus menyelesaikan masalah ini, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Seperti masalah perekrutan.”

Untuk kawasan Asia Tenggara, Suhardi menyebut Filipina sebagai kawasan yang diperhatikan secara sangat serius karena negara ini memiliki potensi yang tinggi kemasukan ISIS. Ancaman ISIS di Asia memang cenderung kecil, tapi nyata. Beberapa pakar menyebut ancaman ISIS di Asia berpotensi membesar jika tidak segera ditangani secara tepat. Ini juga menandakan bahwa ISIS sedang berusaha membangkitkan kembali jaringan teror yang ada di Asia.

“Filipina akan menjadi pusat perhatian,” jelasnya, “kita harus menguatkan kerjasama dengan Malaysia dan Filipina tentang penguatan pengawasan daerah perbatasan, utamanya terkait dengan keluar masuknya orang.”

“Fokus kita adalah intelejen, karena tanpa informasi kita tidak bisa berbuat apa-apa.”

Pada juni lalu, ISIS merilis sebuah video yang menyerukan kepada para pengikutnya di Asia Tenggara untuk segera berperang bersama mereka, baik di Suriah maupun di Filipina. Dilaporkan oleh Reuters, laki-laki yang tampil di video tersebut teridentifikasi oleh otoritas Malaysia sebagai Mohd Rafi Udin. Menggunakan bahasa Malaysia, ia meminta “jika anda tidak bisa berangkat ke Suriah, bergabunglah dan berangkatlah ke Filipina.”

Februari lalu, ISIS dilaporkan mengendus adanya sejumlah kelompok teror di kawasan Filipina yang sudah tidak lagi beroprasi. Para ahli telah memperingatkan otoritas Filipina, yang menganggap video tersebut hanya propaganda, untuk tidak meremehkan kelompok teror yang ada.

Sudah di Jalur yang benar, Suhardi tampaknya sudah mengarah ke jalur yang benar dalam strategi penanggulangan terorismenya. Tahun lalu, perdana menteri Malaysia, Najib Razak menegaskan di pertemuan ASEAN, “Penggunaan kekuatan militer tidak akan cukup untuk mengalahkan orang-orang yang menyebabkan peperangan.”

“Ini adalah persoalan ideologi yang digembor-gemborkan oleh para ekstrimis yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan itu. Kita tidak boleh silau dengan fakta bahwa ideologi kekerasan itu merupkan sebuah kebohongan. Sehingga mengikuti ideologi itu justru bertentangan dengan Islam. Islam tidak begitu.”

Abdurahman Ayyub juga pernah menegaskan bahwa pendekatan multisektoral adalah apa yang dibutuhkan negeri ini untuk menanggulangi terorisme.

“Ada kemungkinan ISIS mendirikan provinsi di sini (Indonesia). Mski bisa saja provinsi itu di didirikan di Mindanao, Filipina, namun ada pula potensi besar pendirian itu terjadi di Poso (yang dicurigai sebgaai pusat pelatihan kelompok ekstrimis di Indonesia), atau di Aceh yang sudah memberlakukan hukum syariah,” ungkapnya lagi.

“Jika pemerintah tidak berhati-hati dalam menangani akar permasalahannya, maka ini (kemungkinan itu) bisa saja terjadi.”

Ustadz Abdurahman menambahkan, ada lagi yang juga penting untuk dilakukan selain deradikalisasi, yakni pencegahan, yang menangani langsung sebab-sebab seseorang menjadi radikal, seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, maupun pengucilan.

Suhardi, dengan pendekatannya barunya yang inklusif, jelas sedang melakukan dua hal itu.

Disadur dari Rappler.com