Ini Pola Penyebaran dan Faktor Penyebab Seseorang Jadi Pelaku Aksi Terorisme

Surabaya – Radikalisme dan terorisme bisa menyasar siapa saja. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang tua. Karena masyarakat harus terus diberi sosialisasi terkait pola-pola penyebaran radikalisme dan terorisme juga faktor penyebab seseorang jadi pelaku terorisme. Ini penting agar masyarakat memiliki kepedulian dan terlibat aktif dalam deteksi dini pencegahan radikalisme dan terorisme.

Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur, Hesti Armiwulan memaparkan pola penyebaran paham radikalisme dan terorisme yang ditujukan kepada para remaja dan kaum muda.

“Terdapat empat pola penyebaran paham radikalisme dan terorisme yang ditujukan kepada para remaja dan kaum muda. Baik melalui media massa, hubungan kekeluargaan, komunikasi langsung dan di lembaga pendidikan,”kata Hesti dalam seminar “Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme Melalui Moderasi Beragama,” di Surabaya, Senin (28/11/2022)..

Dari pola-pola yang dilakukan itu, para teroris menggunakan dunia maya sebagai aksi persebaran paham nya. Alasannya, selain mudah diakses, sulit dikontrol, juga meraih audiens yang luas.

“Selain itu, tanpa penyebutan nama (anonim), media interaktif itu mempunyai kecepatan informasi, juga murah untuk membuat dan memelihara, bersifat multimedia (gambar, suara, foto dan video), internet sebagai sumber pemberitaan,” ungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) ini.

Ia juga mengungkapkan ada empat faktor penyebab seseorang menjadi pelaku terorisme. Faktor Pertama, mencari jati diri. Banyak orang sering bergabung dengan organisasi teroris karena mereka mencari identitas diri mereka sendiri.

“Biasanya, yang masuk kategori ini adalah mereka yang memiliki pengalaman traumatis dan kelompok berisiko karena masalah keluarga,” tuturnya.

Faktor Kedua, kebutuhan untuk saling memiliki. Pada jaringan terorisme seringkali tumbuh sikap saling memiliki, keterhubungan dan afiliasi yang sangat kuat.

“Perasaan semacam ini biasanya banyak dibutuhkan oleh kelompok usia muda yang memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Karena tiadanya kasih sayang atau menjadi anak yang tidak diharapkan, komunikasi yang terganggu dalam keluarga, kurang perhatian orang tua dan lain-lain,” tutur Hesti yang juga Direktur Jimly School of Law and Goverment (JSLG) Surabaya.

Faktor Ketiga, ingin memperbaiki apa yang mereka yakini sebagai ketidakadilan. Mereka pada umumnya memiliki perasaan yang kuat bawah barat memusuhi Islam dan jihad melawan barat adalah satu-satunya pilihan untuk memperbaiki ketidakadilan tersebut.

Faktor Keempat, mencari sensasi. Dari data yang ada hingga bulan Maret 2022 terduga teroris dan organisasi teroris sejumlah 114 orang yang termasuk dalam organisasi teroris.

Hesti mengingatkan, intoleransi, ujaran kebencian, ekstremisme, radikalisme hingga retaknya hubungan antar-umat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.

Dalam ikhtiar pencegahan tindak pidana terorisme, pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus. Hal itu dilandasi prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian. Melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.

Kesiapsiagaan nasional, menurut Hesti, merupakan suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan.

“Kesiapsiagaan nasional dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, perlindungan dan peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme,” tutur Hesti.

Ditegaskan Hesti, pendekatan soft aproach melalui moderasi beragama merupakan proses menjaga keseimbangan yang paripurna, setiap warga masyarakat yang berbeda suku, etnis, budaya, agama dan pilihan politiknya.

Menurutnya, ada empat tanda sikap moderat dalam beragama. Di antaranya, cinta Tanah Air, punya toleransi tinggi, antikekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal.

Selain itu, diingatkan adanya kesadaran pengguna media sosial. Untuk menjaga keamanan akun, dengan membuat kata kunci yang sulit ditebak dan mengubahnya secara periodik.

“Hindari hoaks, tak mudah percaya dengan berita yang diterima sebelum diklarifikasi dan menyebarkan hal positif. Artinya, hanya meneruskan berita yang bermuatan positif. Gunakan seperlunya media sosial. Gunakan media sosial untuk meningkatkan produktivitas diri dan jangan menjadi adiktif,” tutur Hesti.