Makassar – Mantan narapidana terorisme (napiter) dan Ambassador ISIS
Asia Tenggara Suryadi Mas’ud menjadi narasumber kegiatan Sekolah Damai
berupa “Workshop Pelajar Cerdas Cinta, Tolak Intoleransi, Kekerasan,
dan Bullying di Pondok Pesantren IMMIM Makassar, Sulawesi Selatan,
RAbu (6/11/2024). Pada kesempatan itu Suryadi berpesan kepada generasi
muda agar mencintai Indonesia sepenuhnya. Juga agar para generasi muda
mendekat pada ulama moderat, agar memiliki pemahaman agama yang baik.
“Cintai orang tua, guru, meski punya kesalahan. Cintai sesamu,
bantulah yang terdzolimi meski tidak seagama. Raihlah cita-cita dengan
bersekolah dengan baik, jangan membalas kedzoliman dengan kedzoliman
yang lain. Jangan mudah terprovokasi dengan keadaan di dalam dan di
luar negeri,” kata Suryadi.
Suryadi mengaku tiga kali keluar masuk penjara dan sekarang telah
bertobat setelah berikrar kembal setia kepada NKRI dan aktif membantu
pemerintah melakukan program deradikalisasi.
Suryadi bercerita bagaimana ia terpapar dengan paham radikal
terorisme. Itu berawal dari masalah keluarga yang dialami ketika
berada di bangku SMA. Dalam keadaan terguncang ia tidak tahu harus
mengadu ke mana karena di rumah tidak mendapat perhatian. Ia pun
akhirnya memilih masjid sebagai tempat untuk menumpahkan
kegundahannya.
Ironisnya, di masjid itulah, ia bertemu pendakwah yang notebene adalah
perekrut kelompok teroris Repubik Persatuan Islam Indonesia (RPII)
negara yang dideklarasikan Kahar Muzakar.
“Dari sana saya bergaul dengan banyak orang, lalu datang juga
pengusung paham wahabi yang akhirnya saya mengkafirkan orang tua saya
setelah mendapat doktrin dari ustaz-ustaz wahabi,” ungkapnya.
Salah satu doktrinnya, kata Suryadi, bahwa thogut ada lima. Salah
satunya adalah orang yang membuat hukum dan berhukum selain dengan
hukum Allah. Dari situ dinarasikan bahwa bapak saya yang seorang TNI
itu kafir dan Pancasila kafir. Ia pun tidak mau sekolah dan tidak mau
mengikuti pelajaran PMP atau PPKN.
Karena itu, Suryadi menyarankan agar para guru di satuan pendidikan
tidak membiarkan kegiatan Rohis di sekolah. Pasalnya, Rohis sering
disusupi dengan ustaz-ustaz muda yang menarik anak-anak muda, padahal
mereka adalah ustaz wahabi.
Setelah itu, lanjutnya, ia mulai bergabung dengan kelompok teroris dan
akhirnya bergabung dengan Al Qaeda di Moro, Filipina. Di sana ia ikut
berperang dan dilatih menggunakan senjata dan membuat bom. Selama
kiprahnya, Suryadi pernah terlibat dalam Bom Bali 1 sebagai pengirim
bahan baku bom, juga bom McDonald Makassar dan serangan teroris di
Sarinah, Thamrin.
Ia pun harus tiga kali keluar masuk penjara. Dan titik baliknya ketika
ia mendekam di penjara Super Maximun di Lapas Pasir Putih. Di situ ia
dimasukkan sel sendirian dan hanya enam bulan sekali baru bisa melihat
matahari. Di sana ia banyak membaca buku-buku dari para alim ulama dan
dari sanalah pencerahan itu datang, dimana ia sadar bahwa apa yang
dilakukan selama ini salah dan tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.