Jakarta -Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI), Muhamad Syauqillah mengungkapkan sejumlah modus yang digunakan organisasi teroris untuk mendanai kegiatan mereka. Salah satu contohnya adalah pengumpulan dana dengan mengatasnamakan donasi sosial.
Menurut Syauqillah, hal ini dibuktikan dengan kasus di Lampung pada akhir tahun 2020 lalu, dengan temuan 13 ribu kotak amal yang memiliki relasi dengan jaringan teroris. Menurutnya, masyarakat harus lebih berhati-hati dalam memilih lembaga tempat penyaluran dana sosial.
“Agar dana yang disalurkan tidak disalahgunakan sebagai salah satu sumber pendanaan kegiatan terorisme,” kata Syauqillah dalam siaran pers peluncuran buku berjudul “Pendanaan Terorisme di Indonesia”,Kamis (22/7/2021).
Buku yang berisi problematika pendanaan terorisme di Indonesia dengan menggunakan pendekatan studi kasus ini disusun oleh tim yang terdiri dari enam orang. Yaitu Dr. Benny Jozua Mamoto, S.H., M.Si., Muhamad Syauqillah S.H.I., M.Si., Ph.D., Dr. Sapto Priyanto, Garnadi Walanda, M.Si., Albert Bobby Prasetya, M.Si., dan Prihandoko, M.Si.
Ia mengatakan, bahwa buku tersebut merupakan sebuah bentuk kontribusi SKSG UI bagi masyarakat. “Buku ini memberikan edukasi kepada masyarakat tentang modus apa saja yang digunakan oleh organisasi teroris untuk dapat mendanai kegiatan mereka dan dapat mengantisipasi juga menyadarkan masyarakat untuk memberikan donasi pada lembaga yang kredibel,” ujarnya.
Wakil Direktur SKSG UI, Eva yang juga menjadi salah seorang pembahas dalam peluncuran buku tersebut mengatakan, bahwa pendanaan terorisme dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak. Hal ini dimaksudkan untuk dipergunakan melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.
Pendanaan kegiatan terorisme ini dapat dilakukan secara terselubung dalam bentuk infak, sedekah, zakat, maupun dalam bentuk penggalangan dana sosial lainnya. Menurutnya, hal tersebut dapat dilakukan kelompok teroris dengan cara membangun jaringan dan kerja sama pada tingkat lokal, regional, dan internasional.
“Target sasaran kegiatan terorisme selalu mempunyai kriteria penilaian tertentu, di antaranya jumlah personel, keadaan wilayah dan penduduk, kelompok etnis, dan orang-orang yang bisa memberi tempat aman dan pembelaan,” ujar Benny Mamoto, sebagai salah seorang penulis yang menjadi pembicara kunci.
Di akhir sesi peluncuran buku, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Brigjen. Pol. Achmad Nurwakhid menyampaikan, bahwa kegiatan terorisme tidak lepas dengan adanya radikalisme. Jaringan teroris dengan nilai radikalismenya memiliki tujuan dan visi yang sama, yaitu ingin mendirikan negara dengan sistem khilafah.
Oleh sebab itu, buku ini dapat dijadikan pedoman sebagai pencegahan agar masyarakat tidak terjebak dalam ranah terorisme.
Garnadi salah satu penyusun buku juga memaparkan, mekanisme penggalangan dan pengelolaan dana Kompak. Di antaranya adalah ajakan kegiatan agama dan penyebaran ajaran Islam dan jihad ke daerah-daerah konflik Poso dan Maluku, kotak amal masjid, pendapatan dari klinik penyembuhan Islam, donasi pribadi, far’i, dan kiriman dana dari lembaga kemanusiaan di Timur Tengah, dan Pengelolaan dana, penyaluran bantuan kemanusiaan untuk kegiatan jihad di Aceh, Poso, dan Maluku, pembelian senjata dan bahan peledak.