Pontianak – Keterlibatan wanita dalam jaringan terorisme menunjukkan pergeseran. Jika sebelumnya mereka hanyamenjadi simpatisan, sekarang kaum wanita bayak yang menjadi pelaku.
Hal itu diungkapkan Ketua Prodi Sosiologi Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Fiza Yuliansyah, pada kegiatan Rembug Nasional Perempuan Pelopor Perdamaian di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menyebut ada tiga faktor utama yang menjadikan wanita bisa masuk ke dalam jaringan pelaku terorisme.
“Yang pertama adalah patriarki yang dianut di Indonesia. Seorang wanita dituntut tunduk patuh kepada laki-laki, mengagung-agungkan pria, yang tak jarang menjadikan wanita tidak bisa menolak ajakan masuk ke dalam jaringan terorisme,” kata Fiza.
Faktor kedua, adalah kondisi ketika wanita sebagai istri atau ibu menjadi korban pertama di setiap aksi terorisme. Menurut Fiza, wanita yang mendapati suaminya ditangkap karena keterlibatan dalam jaringan terorisme bisa memendam dendam.
“Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan khusus kepada wanita ketika pasangan mereka ditangkap karena terorisme. Jangan sampai seorang wanita memendam dendam dan masuk ke dalam jaringan terorisme baru di kemudian waktu,” jelasnya.
Sedangkan faktor ketiga yang menjadikan wanita terlibat dalam jaringan terorisme, lebih pada kemampuannya untuk tidak sekedar menjadi aktor di lapangan. “Ada wanita yang memiliki intelektualitas tinggi, dan jika itu tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin mereka bisa terlibat menjadi pengatur strategi, logistik, sekaligus perekrut eksekusi,” tandasnya.
Fiza mengaku senang melihat kemauan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mau melibatkan wanita dalam upaya pencegahan terorisme. “Ke depan saya harapkan pelibatan wanita bisa semakin ditingkatkan. Tidak sebatas pada kegiatan dialog, tapi lebih pada hal teknis, seperti pelatihan peningkatan ekonomi, pemberian kesempatan aktifitas yang lebih luas, dan bentuk-bentuk lainnya,” kata Fiza.