sumber : metrotvnews.com

Ini Cara Ulama Perempuan Tangkal Radikalisme dan Terorisme

Cirebon – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama digelar di Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon pada 25-27 April 2017. Kongres ini dihadiri ratusan ulama perempuan, aktivis, dan akademisi yang merupakan bentuk konsolidasi kaum perempuan yang bekerja untuk berbagai persoalan.

Ketua Tim Pengarah KUPI, Badriyah Fayumi mengatakan, peserta kongres akan membahas tiga isu utama yang dihadapi perempuan dan anak-anak, yaitu perkawinan anak, kekerasan seksual dan perusakan alam dalam konteks keadilan sosial, migrasi, radikalisme dan terorisme.

“Semua tema ini berkaitan langsung dengan perempuan, seperti perkawinan anak di mana Indonesia berada di urutan kedua terbesar di Asia Tenggara setelah Kamboja, kekerasan seksual yang banyak terjadi, dan lain-lain. Jadi mesti ada solusi yang tidak hanya melibatkan perempuan,” ujar Badriyah seperti dilansir ‘bbc.com’, Rabu (26/4/2017).

Menurutnya, sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga tidak lepas dari ancaman radikalisme dan terorisme. Serangan bom di kawasan Thamrin pada awal 2016 lalu, dan puluhan serangan lainnya diberbagai daerah para pelakunya disebutkan terkait dengan ISIS.

Sementara itu, Neng Dara Affiah, pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah Banten yang mengikuti KUPI pertama itu mengatakan, berbagai penelitian menunjukkan ajaran-ajaran radikalisme dan terorisme sudah masuk ke insititusi pendidikan dan menyebar melalui media sosial.

Neng Dara Affiah yang merupakan seorang sosiolog, peneliti, dan penulis itu mengaku telah berupaya menangkal penyebaran paham radikalisme melalui tulisan. “Kami menggunakan media sosial sebagai counter terhadap penyebaran kedua paham itu,” jelasnya.

Dia juga menyebut bahwa pesantren, masjid, dan majelis taklim, seringkali dijadikan tempat untuk menyebarkan radikalisme. Dikhawatirkan jika tidak dilakukan upaya pencegahan, paham radikalisme dan intoleran ini akan menimbulkan kekerasan serta mengancam kebhinekaan. Apalagi, intoleransi, radikalisme, dan terorisme atas nama agama sering kali menjadikan perempuan sebagai korban.