Ingin Berjuang Untuk Agama, Gus Mus: Ngaji dan Belajar Dulu yang Benar

Rembang – Konflik di Afghanistan terkait keberhasilan kelompok Taliban merebut kekuasaan dari Presiden Ashraf Ghani tengah menjadi pembicaraan dunia. Bahkan berita-berita terkait Taliban kini terus menghiasi pemberitaan baik surat kabar, media online, dan televisi. Berkuasanya Taliban itu dikhawatirkan akan membangkitkan penyebaran paham-paham transnasional, terutama mengatasnamakan agama dan bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.

Menanggapi hal tersebut Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, DR. (HC) KH Ahmad Mustofa Bisri atau karib dipanggil Gus Mus menyampaikan wejangannya kepada masyarakat. Ia meminta kepada seluruh umat untuk senantiasa bijaksana dan jernih dalam memandang suatu permasalahan. Ini penting agar umat tidak mudah terpengaruh dan terjerumus kepada hal-hal yang malah membawa kemudaratan bagi umat dan bangsa.

“Kalau saya berpesan kepada siapa pun itu yang merasa ingin berjuang untuk agama, terutama yang beragama Islam, misalnya jika ingin berkhutbah, maka ngaji dan belajar-lah lagi supaya jangan gampang ikut-ikutan terpengaruh dengan apa yang terjadi di sana (Afghanistan),” ujar KH Ahmad Mustofa Bisri di Rembang, Kamis (26/8/2021).

Gus Mus mengajak agar semua pihak bisa melihat masalah itu secara jernih. Seperti persoalan di Afghanistan, harus dilihat dengan dari banyak sudut agar bisa memahami persoalan politik di sana. Ia menilai peristiwa yang terjadi di sana, Indonesia ita tidak mendapatkan apa-apa, kecuali dari efek perpecahan di sini.

“ Jadi kita mestinya mendahulukan persoalan kita sendiri di sini. Lha persoalan yang tejadi di kita itu karena itu tadi, kita itu malas untuk terus belajar,” ucap Gus Mus.

Menurutnya tidaklah bijaksana jika seseorang menelan mentah-mentah informasi dan narasi hanya dari satu sumber saja, tetapi harus paham betul bagaimana persoalan dan konflik yang terjadi di Afganistan. Ia meyakini kalau seseorang bersikap gegabah tersebut tentunya tidak akan membawa manfaat apa-apa selain konflik dan perpecahan terhadap bangsa.

“Masyarakat kita ini sudah berkali-kali ‘kecele’ (tidak mendapatkan apa yang diharapkan). Ini karena apa ? Ya karena mereka ini tidak memakai landasan ilmu. Semuanya itu dalam memahami suatu masalah tentu sangat membutuhkan ilmu. Kalau tanpa ilmu, kita akhirnya ikut-ikutan” ujarnya

Gus Mus juga memberikan contoh lain seperti yang terjadi di Palestina, dimana masyarakat bangsa ini juga asal ikut saja sesuatu yang didengarnya dari satu sumber, tetapi tidak mendengar dari sumber yang lain.

“Akhirnya mengikuti satu sumber tersebut yang belum tentu benar keberadaan berita tersebut. Nah kalau yang awalnya ikut-ikutan, lalu kemudian diikuti lagi, tentunya kacaunya juga makin tidak karu-karuan,” ujar Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.

Oleh karena itu Gus Mus meminta kepada mereka yang mengaku sebagai ‘tokoh’ agama yang selama ini ucapannya sudah didengarkan oleh orang banyak terutama, orang yang ucapannya dalam posisi sudah didengarkan, untuk lebih berhati-hati lagi dalam menyampaikan sesuatu.

“Kalau kurang ilmunya maka ya harus belajar lagi. Jangan kemudian dia sudah ditinggalkan orang banyak, lalu kemudian menarasikan sesuatu yang tidak benar,” tutur Gus Mus.

Ulama yang juga seorang penyair ini juga menanggapi terkait narasi-narasi keagamaan yang memecah belah umat yang justru disampaikan oleh ustad-ustad dan pengasuh keagamaan. Bahwasanya seseorang harus mampu menahan nafsu beragama. Karena jika tidak diimbangi dengan kedalaman pengetahuan agama tentunya malah akan menjadi kemudaharatan dan mencoreng wajah agama itu sendiri.

“Kalau semangat keberagamaan ini berkobar-kobar, tentunya hal ini mestinya harus dilandasi dan diimbangi dengan pengetahuan agama yang cukup. Karena kalau tidak ini justru malah merusak wajah agama itu sendiri,” ucap Gus Mus.

Menurutnya, para ustad, pemuka agama maupun pengasuh keagamaan menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab jika adanya perpecahan. Karena persoalan agama dan narasi-narasi kebencian karena perannya dalam memberikan tausiyah dan ceramah yang tidak didasari ilmu dan dasar keagamaan yang cukup.

“Jika ada justru narasi-narasi yang membuat orang menjadi terpecah, sesama kaum beragama ini pecah. Yang salah siapa ? siapa lagi kalau bukan ustadnya ? Kalau orang awam kan mendengarkan saja dan tidak paham. Jadi mereka mendapatkan itu dari ustad-ustadnya,” katanya

Kiai peraih gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Kebudayaan Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga mengatakan bahwa, betapa pentingnya akhlak sebagai inti pokok ajaran agama Islam yang diajarkan dan disampaikan oleh para pemuka agama kepada umat.

“Kanjeng Nabi Muhammad itu sendiri bersabda, ;innama buistu liutammima makarimal akhlaq’ yang artinya tidak sekali-kali saya diutus oleh Allah (kecuali) hanya satu untuk menyempurnakan akhlak , Jadi agama itu sebenanrya atau inti pokoknya adalah akhlak. Tetapi akhlak ini seperti diabaikan karena adanya urusan-urusan yang dianggapnya lebih penting di dalam agama Islam,” terangnya.

Terakhir, Gus Mus tersebut kembali menegaskan pentingnya akhlak terutama untuk harmonisasi kehidupan bermasyarakat yang juga merupakan inti dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Karena itu bila mengakui bahwa kanjeng Nabi itu pemimpin agung umat Islam, maka yang sudah disampaikan oleh Nabi itu perlu dan harus selalu diajarkan kepada umat karena itu untuk menyempurnakan akhlak.

“Saya itu menyerukan kepada ustad-ustad siapapun,untuk mendahulukan dan mengajarkan soal akhlak, karena jika kemudian di dalam masyarakat ini terjadi goncang dan perpecahan, maka hal itu jelas akibat akhlak yang tidak diperhatikan,” pungkas Gus Mus.