London – Kepala Staf Pertahanan Inggris, Jenderal Sir Nick Carter memperingatkan bahwa kelompok teroris Islamic State (ISIS) dan paham kekerasannya belum kalah dan ancaman terorisme terus berkembang biak dengan dampak mematikan.
Peringatan Jenderal Carter ini mengacu pada serangan pekan lalu di Jembatan London oleh teroris yang dibebaskan, Usman Khan sebagai contoh bahaya mematikan tengah mengancam masyarakat. Dia juga menekankan bahwa situasi di beberapa wilayah dunia tidak kondusif untuk mengurangi pertumbuhan ekstremisme.
Faktanya kondisi keamanan memburuk, kata Carter ini saat mengisi kuliah tahunannya di Royal United Services Institute (RUSI) di London, seperti dilansir dari The Independent, Minggu (8/12).
Carter juga mengingatkan peserta tentang pesannya tahun lalu terkait ketidakstabilan yang dapat berdampak pada meningkatnya ancaman keamanan.
“Jadi apa yang berubah? Jika ada, peristiwa selama 12 bulan terakhir menunjukkan (situasi) menjadi semakin tidak stabil,” katanya saat berpidato pada Kamis malam.
Peringatan Jenderal Carter juga berkaitan dengan kekalahan ISIS – pandangan yang digaungkan komandan dan pejabat militer Inggris, Amerika, dan Barat lainnya – sangat berbeda dengan pernyataan Presiden AS, Donald Trump bahwa “ISIS telah 100 persen dikalahkan”.
Penyebab instabilitas lainnya, kata Jenderal Carter, perilaku agresif pemerintahan otoriter.
“Sistem multi-lateral yang telah menjamin keamanan, stabilitas, dan kemakmuran kami selama beberapa generasi terus dirusak oleh rezim otoriter yang berperilaku seolah-olah hak bersejarah mereka diingkari,” katanya.
“Ada konsensus yang berkembang bahwa gagasan ‘perang politik’ telah kembali. Ini adalah strategi yang dirancang untuk merusak kohesi, mengikis ketahanan ekonomi, politik dan sosial, dan menantang posisi strategis kita di wilayah-wilayah utama dunia,” lanjutnya.
Dia juga merujuk pada aktivitas Rusia di wilayah Atlantik Utara, yang dia sebut “berada pada puncak pasca-Perang Dingin”. Di luar Eropa, pergolakan berlanjut, dengan serbuan Turki ke Suriah, penyerangan tanker minyak di Teluk Persia, dan unjuk rasa meluas di Irak, Libanon dan negara lainnya di Timur Tengah.
Dia juga mengatakan faktor sosio-ekonomi bisa melahirkan ekstremisme. Untuk menghadapi ancaman ini memerlukan respons strategis yang mengintegrasikan semua kekuatan nasional.
“IMF dan Yayasan Brenthurst menyatakan bahwa 62 persen populasi sub-Sahara Afrika di bawah usia 25 tahun; pada 2030 populasinya akan menjadi sekitar 1,65 juta, dan pada 2050 akan meningkat dua kali lipat dari hari ini menjadi sekitar 2,1 miliar, dimana 900 juta tinggal di kota-kota,” jelasnya.
“Tata kelola yang buruk, konflik, pertumbuhan ekonomi yang parsial, dan perubahan iklim menunjukkan bahwa perpindahan penduduk dan migrasi akan meningkat secara signifikan dari jumlah yang relatif kecil yang telah kita lihat sejauh ini. Dan tentu saja, semua ini tidak terbantu oleh persaingan kekuatan yang hebat dan perebutan baru sumber daya Afrika,” sambungnya.
Seperti diketahui, Presiden AS, Donald Trump telah menggunakan argumen ISIS sudah dikalahkan 100 persen untuk penarikan pasukan AS dari Suriah – sebuah tindakan yang mengakibatkan kelompok-kelompok Kurdi yang telah bertempur bersama pasukan Amerika dan Barat dibiarkan menghadapi serangan militer Turki.
Pekan ini saat KTT NATO di Inggris, Presiden Prancis Emmanuel Macron secara terbuka sudah menantang pernyataan Trump terkait klaim mengalahkan ISIS.
“Prioritas pertama, karena ini belum selesai, adalah menyingkirkan ISIS dan kelompok-kelompok teroris ini. Ini belum selesai. Maaf saya harus mengatakan ini,” kata Macron.