Indonesia Tidak Memiliki Sejarah Pertumpahan Darah

Paham radikalisme, yang tidak segan menggunakan agama sebagai tameng untuk berbagai tindak kekerasan belakangan tampak semakin menggejala. Paham ini menyasar siapa saja tanpa pandang usia, tidak terkecuali mahasiswa. Kampus-kampus kerap manjadi hot spot bagi penyebaran paham radikalisme, karenanya perlu upaya nyata untuk membentengi mahasiswa (termasuk juga dosen) dari jeratan paham kekerasan tersebut.

Sebagai lembaga negara yang fokus pada upaya pencegahan terorisme, BNPT menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS di Kalangan Perguruan Tinggi se-Jabodetabek”  pada selasa (7/7) yang bertempat di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari 36 perguruan tinggi yang ada di Jabodetabek dan sejumlah instansi terkait.

Acara yang dikemas dalam bentuk dialog dan workshop media damai ini mendapat apresiasi tinggi dari berbagai pihak. Masinton Pasaribu, yang datang untuk mewakili komisi III DPR RI memberikan dukungan penuh pada acara ini, menurutnya kegiatan yang ditujukan untuk menangkal penyebaran paham radikalisme sangat penting untuk terus dilakukan karena saat ini sendi-sendi negara sedang digoyang oleh isu-isu politik yang dikemas dalam wadah agama.

“ISIS adalah contoh betapa agama digunakan sebagai alat untuk membumihanguskan kemanusiaan melalui aksi-aksi ekstrim” tegasnya. Dalam pidato sambutan yang ia sampaikan di acara tersebut, Masinton Pasaribu juga menekankan bahwa Indonesia tidak pernah memiliki sejarah pertumpahan darah. Budaya dan tradisi asli Indonesia jauh dari kekerasan. Di masa sekarang dan mendatang, Indonesia juga tidak akan pernah memiliki sejarah pertumpahan darah, asal kita mau konsekuen dan patuh dalam mengamalkan pancasila. Karenanya Pancasila harus menjadi landasan bangsa dalam bersikap.

Apresiasi tinggi juga diberikan oleh Kementrian Riset dan Teknologi (Kemenristek) yang diwakili oleh Dr. Widyo Winarso. Menurut beliau acara dialog seperti ini penting untuk terus dilakukan, karena dialog dapat meluruskan persepsi. Sehingga dengannya tidak akan ada lagi salah paham atau bahkan kesalahan dalam memahami teks-teks agama. “Apa yang kita lakukan bersumber pada apa yang kita pikirkan” pungkasnya.