Jakarta – Sebagai bangsa yang masyarakatnya majemuk, di Indonesia sering terjadi gesekan akibat perbedaan cara pandang masalah keagamaan. Ini tak ayal dapat mengganggu suasana kerukunan dan kedamaian yang seharusnya terjalin sehingga harus ada yang menjembatani tentang perbedaan tersebut. Dalam hal ini peran tokoh agama moderat dan pemerintah sangat vital untuk menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dalam persatuan Indonesia.
Hal tersebut dikatakan Deputi I Bidang Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi, Mayjen TNI Hendri Paruhuman Lubis saat menjadi narasumber pada acara Seminar Moderasi Beragama untuk Menangkal Terorisme dan Radikalisme dan Penandatanganan Kerja Sama (PKS) antara BNPT, Holding Perkebunan Nusantara dan Universitas Sumatera Utara yang berlangsung di JW Marriot Hotel, Jakarta, Selasa (15/6/2021).
“Kita sebagai masyarakat yang majemuk harus bisa menciptakan kerukunan ditengah perbedaan yang ada. Dengan adanya moderasi beragama membuat negara menjadi harmonis, damai dan toleran. Jangan sampai perbedaan ini yang membuat bangsa Indonesia hancur,” ujar Hendri.
Hendri menjelaskan agar terciptanya kerukunan antar umat beragama harus ada peran antara tokoh agama yang moderat dan juga pemerintah. Oleh karena itu BNPT menggandeng pemuka agama untuk mewujudkan hal tersebut.
“Desember 2020 BNPT menggandeng Lembaga Persahabatan Ormas Islam dan Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan membentuk Gugus Tugas Pemuka Agama Dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme. Gugus tugas ini melibatkan para pemuka agama moderat untuk mengatasi perkembangan paham radikal terorisme di Indonesia,” terang Hendri.
Ia juga menjelaskan bahwa sosialisasi pencegahan radikalisme dan terorisme harus dilakukan di seluruh lapisan masyarakat, baik lingkungan masyarakat umum, lembaga pemerintah, Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN), swasta, dan lain-lain. Kalau sosialisasi berjalan dengan baik, ia yakin masalah radikalisme dan terorisme di Indonesia bisa teratasi dengan baik.
“Masalah radikalisme dan terorisme ini bukan hanya milik BNPT saja, tetapi juga masalah seluruh bangsa Indonesia. Jangan sampai masalah radikalisme dan terorisme menyebar ke Indonesia.,” papar Deputi 1 di depan sekitar 1300 peserta PTPN Group dan mahasiswa Universitas USU secara langsung dan daring.
Deputi 1 BNPT juga memaparkan berbagai hal terkait bahaya terorisme dan upaya-paya pencegahan yang telah dilakukan. Salah satunya tentang terorisme lama dan terorisme baru. Terorisme lama dulu penyebaran itu dilakukan melalui cara-cara konvensional seperti pengajian, dakwah, serta persaudaraan atau pertemanan, sementara terorisme baru melalui internet dan media sosial.
“Sekarang mereka bisa baiat secara online, dulu harus tatap muka dan bertemu. Bahkan untuk nikah mereka bisa secara online,” jelas mantan Dansat Intel BAIS TNI ini.
Senada dengan Deputi 1 BNPT, mantan Kepala BNPT Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Suhardi Alius, M.H., bahwa kelompok teror kini melakukan aksinya dengan media sosial.
“Dari 180 juta penduduk Indonesia, 30%nya generasi muda yang menjadi target perekrutan kelompok radikal terorisme karena mereka masih memiliki idealisme dan emosional, hal inilah yang menyebabkan mereka gampang dipengaruhi paham radikal terorisme,” jelas Suhardi.
Namun, imbuh Suhardi, tidak hanya generasi muda saja, kelompok radikal terorisme juga menjadikan wanita sebagai targetnya. Oleh karena itu perempuan juga harus memiliki pemahaman terhadap bahaya paham tersebut.
“Kaum perempuan merupakan salah satu pondasi penting bangsa Indonesia. Bahkan bangsa Indonesia juga menyebut negara ini dengan Ibu Pertiwi. Untuk itulah seorang ibu harus bisa mendidik anaknya agar menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa, serta mengawasi mereka dari pengaruh radikalisme dan terorisme,” paparnya.
Suhardi juga mengungkapkan bahwa radikalisme itu bersifat intoleransi, anti NKRI, anti Pancasila dan penyebaran-penyebaran paham takfiri (suka mengkafir-kafirkan orang). Hal ini perlu dijelaskan agar seluruh masyarakat bisa memiliki pemahaman yang sama terkait radikalisme dan terorisme ini.
Kegiatan seminar dan MoU ini merupakan tindaklanjut antara BUMN dengan BNPT pada 2019 lalu dimana ruanglingkupnya adalah tentang pencegahan paham radikalisme dan terorisme di lingkungan BUMN.