Jakarta – Indonesia harus tetap waspada meski potensi ancaman
terorisme di dalam negeri mengalami penurunan pada tahun lalu.
Penegasan itu disampaikan oleh Koordinator Analis Media Kontra
Propaganda Pusat Media Damai (PMD) Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) Budi Hartawan M.Hum., dalam diskusi daring di
Jakarta, Selasa (21/11/2023).
“Berdasarkan Global Terrorism Index 2022 potensi ancaman terorisme
Indonesia berada di urutan ke 24 dari 162 negara, menurun dibanding
2020 yang berada di urutan 37,” kata Budi.
Ia mengatakan bahwa capaian baik tersebut tidak boleh membuat
Indonesia berpuas diri, tetapi harus dijadikan motivasi untuk terus
melangkah dan berupaya menekan bahkan menghapuskan kasus terorisme,
utamanya di zona merah.
“Misal di NTB di daerah Bima itu adalah zona merah, jadi memang perlu
menjadi perhatian bersama terutama di satuan pendidikan,” ucap putra
kelahiran Desa Bengkel, Lombok Barat, NTB ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, jelas Budi, terorisme
merupakan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
yang menimbulkan suasana teror, rasa takut secara meluas, yang dapat
menimbulkan korban dengan motif Ideologi, politik, atau gangguan
keamanan.
Menurutnya, tindakan terorisme berawal dari paham radikalisme atau
suatu ideologi dan paham untuk melakukan perubahan pada sistem sosial
dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan, menyuburkan sikap
intoleran, anti pancasila, anti NKRI, penyebaran paham takfiri, dan
menyebabkan disintegrasi bangsa.
“Penelitian yang kami lakukan pada 2020 potensi radikalisme ini
cenderung lebih tinggi terjadi pada perempuan, karena mereka lebih
kuat kemauannya dan keterpaparannya,” ujar alumunus UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta itu.
Ia mengungkapkan, tren kasus belakangan yang terjadi, menurutnya,
sering dilakukan oleh kaum perempuan. Ia mencontohkan kasus yang
terjadi di Sibolga, Sumatera Utara, pada 2019, di mana terjadi kasus
bom bunuh diri yang dilakukan seorang perempuan yang sedang
mengandung, dan anaknya yang berusia lima tahun turut menjadi korban.
Dia mengatakan bahwa penyebaran paham dan propaganda terorisme terjadi
lebih masif di dunia maya, untuk itu perlu berhati-hati dalam menerima
dan menyebarluaskan informasi.
“Setelah munculnya Kelompok ISIS, pola penyebaran paham radikal
terorisme dan rekrutmen anggota kelompok terorisme mengalami
perubahan, dunia maya digunakan sebagai alat penyebaran paham dan
rekrutmen anggota,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kelompok radikal menjadikan hoaks atau berita
bohong sebagai salah satu strategi untuk menghasut dan meradikalisasi
pengguna di dunia maya, menggunakan strategi media framing dalam
mengemas pemberitaan untuk kepentingan kelompok radikal terorisme
mendapatkan simpati dan dukungan.
“Media sosial, social messenger, website, blog, digunakan sebagai alat
penyebaran informasi, kaderisasi, pelatihan, dan komunikasi antar
anggota, dan penyebaran buku-buku elektronik sebagai media
indoktrinasi,” tandas jebolan Pesantren Tebuireng Jombang itu.