Indonesia Butuh Kedaulatan Cyber Untuk Bendung Radikalisme

 JAKARTA – Internet menjadi pintu utama bagi banyak informasi termasuk paham radikal. Indonesia harus punya kedaulatan cyber terlebih dahulu, sehingga arus informasi termasuk paham radikal bisa dikontrol dengan standar negara demokratis namun mengutamakan kepentingan nasional.

Anggota Komisi 1 Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR RI) yang juga Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), Arief Suditomo menjelaskan bahwa pada intinya Indonesia harus memiliki kedaulatan cyber terlebih dahulu.

“Sehingga arus informasi bisa dikontrol dengan standar negara demokratik namun tetap mengutamakan kepentingan nasional diatas segalanya. Setelah kedaulatan cyber bisa kita tegakkan, berbagai konten digital/ elektronik yang membahayakan negara, akan dapat kita lakukan preventif action” kata Arief kepada media, Jumat (24/6/2016).

Pernyataan ini merupakan tanggapan dari makin gencarnya penyebaran paham radikalisme dan terorisme melalui internet (dunia maya). Salah satu aksi terorisme yang pelakunya teradikalisasi melalui dunia maya adalah kasus penembakan membabi buta oleh tersangka Omar Matten di sebuah klub malam di kota Orlando, Amerika Serikat beberapa waktu lalu yang menewaskan sekitar 50 orang.

Hal senada diungkapkan dosen ilmu komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Yuli Candrasari. Menurutnya, kedaulatan cyber itu penting untuk mengantisipasi dan meminimalisasi dampak negatif internet, terutama penggunaan media sosial yang saat ini banyak dimanfaatkan untuk propaganda paham radikalisme dan terorisme.

“Agama dan ajaran adalah masalah keyakinan individu. Biasanya individu mengakses internet dan browsing-browsing informasi yang sesuai dengan pikiran dan keinginannya. Jika hasil browsing di internet itu sama dengan pemikirannya, maka akan memperkuat bahwa paham itu benar, lalu dia akan melakukan seperti informasi yang dia dapatkan termasuk yang radikal. Internet menjadi pintu utama bagi banyak informasi, “ kata Yuli Candrasari.

Menurut Yuli, informasi yang didapatkan di internet memang tidak bisa menggantikan tokoh agama, tapi bila informasi di internet itu sudah diakses oleh banyak netizen dan mereka setuju dengan pemikiran tersebut maka orang yang mengakses itu menjadi semakin yakin bahwa paham itu benar.

“Semua paham pada dasarnya bisa disebarkan dengan mudah melalui media sosial (medsos) karena karakteristik internet yang mampu menjangkau banyak orang tanpa terkendala geografis. Adanya jejaring sosial memudahkan netizen (individu) untuk terhubung hanya berdasar interest (minat) yang sama, tanpa saling mengenal,” terangnya.

Ditambah lagi menurutnya, di dunia maya individu bebas menuliskan ide dan pemikirannya, kemudian dishare (dibagikan) pada masyarakat online dengan mudah dan cepat “Netizen bisa sesering mungkin mengungkapkan pemikirannya dan berulang-ulang tanpa ada batasan. Ketika tulisan itu diakses oleh netizen lain yang punya minat dan pemikiran yang sama maka akan menjadi sebuah viral (topik unggulan) di lingkungan netizen yang punya minat sama,” kata Yuli.

Menurutnya, apalagi jika banyak netizen yang mendiskusikannya di dunia maya sebagai ruang publik maka paham tersebut semakin dipersepsikan ‘benar’.