Kairo — Walaupun suasana dingin di malam hari di kota Cairo, namun ratusan mahasiswa dan mahasiswi tetap antusias mendengarkan paparan yang disampaikan oleh Direktur Pencegahan Kedeputian I Drs. Hamidin terkait kisah-kisah nyata para teroris di Indonesia.
Dalam paparan itu, Brigjen Pol Hamidin menjelaskan sejarah perkembangan terorisme di Indonesia dan aksi-aksi terorisme sepanjang sejarah, mulai masa Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi, termasuk kebijakan yang diambil oleh setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia.
Hamidin mengungkapkan bahwa masalah teroris di tanah air cukup kompleks karena jaringan mereka bukan saja ada di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, sehingga tidak mengherankan jika negara-negara lain, khususnya negara tetangga menilai bahwa Indonesia merupakan sarang terorisme. Ini disebabkan karena pelaku-pelaku teroris di Filipina umumnya adalah orang Indonesia.
Dalam pedoman Jamaah Islamiyah yang disusun dalam satu buku, kelompok teroris itu membagi kawasan Asia tenggara kedalam 4 Mantiqi (kawasan), yakni: Mantiqi 1 meliputi Singapura, Malaysia dan Brunei. Kawasan ini tidak pernah dibom karena dianggap sebagai kawasan ekonomi, artinya mereka tidak menjadikan negara-negara tersebut sebagai sasaran aksi untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi sebagi sumber kehidupan mereka nanti.
Mantiqi 2 meliputi Sumatera dan Jawa. kawasan ini dianggap sebagai kawasan administratif dan menjadikannya sebagai sasaran aksi. Karena itu tidak mengherankan jika selama beberapa dekade terakhir hampir semua aksi terorisme berpusat di Jawa, seperti pemboman hotel Marriot, Pemboman Gereja dan Pemboman Kedubes Asing. Ini dimaksudkan sebagai upaya untuk merongrong stabilitas di kawasan ini yang nantinya dijadikan sebagai base untuk engkontrol kawasan lain.
Mantiqi 3, meliputi Filipina Selatan, Papua, New Zealand dan Australia. Kawasan ini dijadikan sebagai kawasan strategis untuk mondar mandir dalam mengatur kegiatan-kegiatan mereka dalam melancarkan serangan-serangan termasuk dalam berkoordinasi
Mantiqi 4 meliputi Indonesia Timur seperti Sulawesi, Maluku dan daerah-daerah lainnya di Indonesia Timur. Kawasan ini dijadikan sebagai kawasan operasi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di Poso dan juga Maluku sebelumnya menjadi pusat pelatihan mereka dan sebagai basis untuk menghimpun kekuatan serta melatih pasukan-pasukan mereka.
Kenyataan inilah yang menjadi konsen pemerintah Indonesia yang bekerjasama dengan negara-negara lain untuk mengikis habis radikalisme, karena ia bukan saja mengancam stabilitas di tanah air Indonesia tetapi juga mengancam stabilitas kawasan. Hal ini memang sempat memunculkan anggapan bahwa Indonesia mendapat dana yang besar dari negara-negara asing untuk memerangi terorisme, padahal kerjasama yang dilakukan Indonesia bersama negara-negara lain tidak sebagai koordinasi dalam memerangi terorisme.
Saat ini masalah utama yang muncul adalah ISIS. Kelompok teroris itu gencar melakukan propaganda bukan saja di wilayah yang dikuasai, akan tetapi juga di tanah air. Ironisnya tidak sedikit dari saudara-saudara kita umat Islam di tanah air yang ikut terpengaruh ke dalam kelompok ini, bahkan mengajak sesama muslim untuk bergabung ke dalam kelompok tersebut dengan asumsi sebagai Khilafah Islam dan mengajak umat Islam Indonesia untuk mendirikan Khilafah di Indonesia.
Menurutnya ide tentang negara Islam sudah muncul sejak lama bersamaan dengan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, Namun dalam kenyataannya organisasi pergerakan mereka bukanlah bertujuan untuk mendirikan negara Islam, akan tetapi lebih dari sebuah idealis yang sama sekali tidak bertujuan untuk memajukan Islam.
Faktanya, dalam penelusuran yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait di tanah air selama ini ternyata bahwa hampir semua pergerakan ini dibacking oleh kelompok tertentu yang tujuanya hanya untuk merongrong stabilitas di Indonesia.
Sejumlah peserta dalam dialog interaktif ini lantas menanyakan hal-hal yang terkait dengan isu-isu yang berkembang selama ini, khususnya terkait kebijakan penahanan terhadap oknum-oknum yang dianggap dan diduga teroris padahal belum ada bukti tentang itu. Karena itu, pihak-pihak yang terkait dengan terorisme seperti Densus 88 dan BNPT sering menjadi sasaran kritikan.
menanggapi hal ini, Brigjen Pol Hamidin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang tetap menghormati proses hukum. Aparat-aparat pemerintah termasuk penegak hukum konsisten dalam menjalankan tugas, namun perlu diketahui bahwa tidak sedikit juga aparat yang menjadi korban akibat tindakan teroris ini, sehingga sering kali upaya untuk melakukan pendekatan kepada mereka mengalami kendala. Ini disebabkan oleh cara pandang mereka yang sangat ekstrim terhadap pemerintah yang semuanya dianggap sebagai thogut atau penindas, termasuk pegawai-pegawai negeri dianggap sebagai anshor thagut, hal ini tidak memberikan peluang dan jalan untuk berdialog.