Ikut Andil Membangun Bangsa, Muhammadiyah Harus Menjaganya dari Terorisme

Yogyakarta- Tidak dipungkiri Muhammadiyah mempunyai andil besar dalam membangun bangsa ini dan telah menjadi bagian penting dari Negara ini. Karena keikutsertaan ini, Muhammadiyah kembali menegaskan komitmen kebangsaan itu, di Muktamar Makassar yang menganggap Negara Pancasila sebagai Negara darul ahdi wa syahadah.

“karena itu Muhammadiyah akan komitmen bekerjasama dalam menutupi lubang-lubang penyebaran radikalisme dan terorisme yang dapat merusak keutuhan bangsa ini” tegas Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agung Danarto (19/3/2019).

Berbicara dalam kegiatan Workshop Pencegahan Radikalisme dan Ekstremisme di Kalangan Dosen Perguruan Tinggi Muhammadiyah kerjasama BNPT dengan Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Agung mengakui tidak menutup kemungkinan di masyarakat Muhammadiyah tercemari radikalisme karena banyaknya informasi yang terbuka dan sesat sehingga butuh kolaborasi. Hanya saja memang tidak boleh mengenaralisir dengan mengumumkan istilah secara keseluruhan.

Muhammadiyah, menurut Agung, mengecam terhadap pelaku terorisme sekaligus bersimpati kepada korban yang menjadi aksi kekerasan tersebut. Komitmen Muhammadiyah merupakan manifestasi dari komitmen kelembagaan dalam memaknai Negara ini sebagai Negara perjanjian dari seluruh perbedaan.

“Itulah komitmen dari Muhammadiyah dalam memahami Negara ini dan semua hal yang tidak sesuai dengan hal ini juga menjadi musuh Muhammadiyah” tegas Danarto.

Selain itu Muhamdiyah jelas menerima perbedaan atau pluralitas sebagai realitas. Semua agama dan perbedaan apapun berhak mendapatkan kebebasan dan kenyamanan untuk menghuni negara ini.

Pemahaman seperti ini menurut Agung perlu dipahami dan dibumikan di seluruh masyarakat Muhammadiyah. Moderasi agama yang dimiliki dalam pemikiran Muhammadiyah wajib dipahami warganya mengingat akar dan sebab terorisme salah satunya karena radikalisasi keagamaan.

Mencegah Terorisme dengan Pemikiran Terbuka

Dalam kesempatan ini, Agung mengingatkan bahwa secara umum paham agama yang tekstual sangat rentan dan lebih mudah diengaruhi ajaran fundamental. Orang yang memiliki pemikiran yang harfiyah mudah terjerumus dalam pemikiran radikal.

“Pemahaman agama yang literalis tidak sesuai dengan Muhammadiyah. Berdasarkan pada Qur’an dan Sunnah tetapi disandarkan pada ijitihad dan tajdid. Artinya 2 hal ini yang mengevaluasi terhadap pemikiran-pemikiran yang kontekstual.” Pungkas Danarto.

Senada dengan Agung, Muhammad Najib Azra, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM merekemondasikan dua hal dalam menangani radikalisme. Pertama, pentingnya membangun relasi yang beragam.

Hasil berbagai riset, menurut Najib, bahwa orang yang mempunyai hubungan sosial yang sedikit, mudah terjebak dalam jaringan gerakan terorisme. Relasi yang lebih memiliki relasi yang majemuk (multiple relation) kemungkinan lebih besar.

“Kita biasakan anak didik dan anak-anak sekarang diajak bergaul dalam lingkungan yang heterogen. Pengalaman kemajemukan harus diperbanyak agar tidak hanya menjadi imajinasi tetapi dalam kenyataan.” Tutur Najib.

Kedua, pentingnya mengembangkan wacana yang berama (multiple discourse). Memperbanyak opini, wawasan, perspektif dan wacana menjadi penting dikembangkan. Orang yang terbiasa dalam pengalaman berbagai wacana ini akan lebih susah terjaring.