Jakarta – Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Bambang Qomaruzzaman, mengatakan Idulfitri merupakan proses spiritual untuk kembali terlahir menjadi insan fitri yang suci dan bebas dari kebencian, intoleransi, dan ekstremisme. Idulfitri berarti kembali menyadari tugas seorang Mukmin untuk dunia kehidupan ini, bukan untuk kelompoknya, untuk seluruh alam.
“Sebagai pengelola, manusia mendapatkan tugas memakmurkan kehidupan dunia, memberikan rasa keadilan dan kasih sayang pada semua makhluk,” ujar Bambang dikutip dari laman Antara, belum lama ini.
Bambang menyebut Idulfitri sebagai momentum back to the ground. Artinya, hari raya ini adalah waktu yang tepat untuk menyadari kelemahan masing-masing diri dan menginsafi kekuatan hidup bersama.
Idulfitri melahirkan kemenangan yang ditandai dengan munculnya tiga kualitas diri, yakni pribadi yang menahan amarah, pribadi pemaaf, dan pribadi yang berbuat kebaikan.
“Semua mengharapkan muncul pribadi yang memenangkan perjuangan melawan hawa nafsu. Kemenangan itu ditandai dengan munculnya pribadi takwa yang al-kazhiminal ghayza (orang-orang yang menahan amarahnya), wal ‘afina ‘aninnas (memaafkan kesalahan orang), dan pribadi yang berbuat ihsan (muhsinin) seperti dikemukakan Ali Imran: 134,” papar dia.
Dia menjelaskan ketiga kualitas tersebut. Pertama, mampu menahan amarah berarti pribadi yang memiliki kecerdasan emosional sehingga tidak mudah melampiaskan kemarahan dan tidak menimbulkan dampak ekstrem bagi sekitarnya.
“Kedua, yakni memaafkan semua manusia (al-afina aninnas), ini berarti peraih Idulfitri adalah orang tidak memelihara dendam, tidak menyimpan kesalahan orang lain lalu menjadikannya alasan untuk berbuat destruktif. Membersihkan hati dari kesalahan orang lain agar tak ada alasan lagi melakukan kekerasan,” ujar dia.
Sementara itu, kualitas diri yang ketiga, yakni pribadi yang berbuat kebaikan berarti pribadi yang senantiasa berbuat baik kepada semua pihak tanpa syarat. Bambang mengatakan ketiga kualitas diri tersebut dibutuhkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dia mengatakan apabila suatu negara dipenuhi dengan kepribadian tersebut maka akan tercipta kerukunan antarmasyarakat.
“Dengan tiga kualitas peraih Idulfitri yang bisa mengelola emosi, tidak memelihara dendam kesumat, dan muhsinin pada semua manusia, tak ada alasan untuk tidak merasa bersaudara dan solidaritas pada pemeluk agama lain,” ujar dia.
Idulfitri juga menjadi momentum mempererat tali persaudaraan dan solidaritas. Tidak hanya sesama umat Islam, tetapi juga dengan masyarakat pemeluk agama lain.
Dalam mewujudkan Idulfitri sebagai pengukuhan insan fitri yang suci dari intoleransi dan ekstremisme tersebut, Bambang berharap adanya dukungan dari berbagai pihak. Khususnya, pemimpin agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah dalam mempromosikan toleransi di masyarakat.
“Pemimpin agama harus menyadari posisinya, sehingga ia harus mengelola perkataan, perbuatannya, sekaligus diamnya agar tidak menjadi pemicu bagi perilaku agresif. Karena itu, pemuka agama dan aparat pemerintahan harus sadar diri, jaga ucapan, jaga sikap, dan juga perilaku,” kata Bambang.