JAKARTA – Idul Adha atau Hari Raya Haji adalah momentum untuk mempersatukan umat dengan latar belakang berbeda. Perbedaan itu berupa keragaman budaya seperti perbedaan bahasa, perbedaan warna kulit, dan perbedaan adat istiadat. Pun perbedaan agama seharusnyatidak mengganggu esensi yaitu kesatuan rohaniah, yang kini digunakan paham radikal terorisme untuk mengadu domba, bahkan membunuh sesamanya.
“Ibadah Haji memang sebuah ritual tapi tidak sekadar itu, karena harus kita lihat esensinya. Bukan sekadar ritual dimana kita naik haji kemudian pulang mendapat gelar haji , bu hajjah dsb. Haji sebenarnya mengandung maknsa simbolik yang dalam sekali untuk persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia maupun dunia,” kata guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Asep Usman Ismail, kepada media, Rabu (31/8/2016).
Dalam momen Idul Adha ini ia mengajak seluruh umat manusia untuk memperkuat persatuan, terutama dalam memerangi bahaya nyata yaitu radikalisme dan terorisme.Pasalnya, radikalisme dan terorisme tidak dibenarkan Islam, apapun bentuknya. Apalagi seperti serangan di halaman Masjid Nabawi, Madinah beberapa waktu lalu.
Asep mengingatkan akan perayaan Idul Adha yang merupakan puncak ibadah Haji yang dilaksanakan umat Muslim. Seperti kita ketahui bersama, kadang Idul Idha disebut pula sebagai Idul Qurban atau Lebaran Haji.Ia juga menegaskan bahwa pada hakekatnya tidak ada Islam Pakistan, Islam Yaman.
“Itu hanya masalah tempat tinggal, lalu dari tempat tinggal itu lahir sistem sosial, itu lahir cinta tanah air, muncul nasionalisme, kebangsaan, budaya dll. Nasionalisme itu pangkalnya tempat tinggal, lalu muncul cinta tanah air. Itu kenyataan yang tak bisa dihindari. Lahir di Mekah atau Indonesia maka dia cinta pada tanah kelahiran. Itu perbedaan dan Islam yang mempersatukannya,” terangnya.
“Ajaran dasar Islam itu dirancang sistematik, sistemik, dimana semua komponen satu sama lain saling menguatkan. Simbolik yang mempersatukan umat Islam itu sebetulnya banyak, salah satunya adanya Ka’bah. Itu yang mempersatukan umat,” katanya.
Keragaman budaya itu menurut Al Quran adalah itu harus direnungkan supaya bisa saling mengenal, mengenal budaya, mengenal bahasa, dan adat istadatnya dan itu diakui oleh Al-Qur’an. “Ada keragaman budaya. Tetapi ada keragaan budaya itu tidak boleh mengganggu esensi yaitu kesatuan spiritual.”, ujar Asep.
Sholat itu adalah doa jarak jauh dan merasai satu sebagai umat islam sebagai satu kesatuan, sedangkan haji adalah jarak dekat . Jutaan orang dari berbagai belahan dunia dari berbagai berlahan dunia, dari berbagai kawasan, berbagai negara berkumpul di satu titik.
“Di momentum itu, orang akan merasa satu misalnya ketika mengelilingi Ka’bah dan berada di Mina untuk melempar jumroh. Puncaknya dimana umat merasa bersatu adalah ketika wukuf di mana semua memakai kain putih. Jadi semua identitas, atribut dilepas dan hanya memakai kain putih. Kain putih itu sebenarnya bukan warna. Putih itu menggambarkan kesucian, kebersihan dan persamaan. Ada makna folosofisnya yaitu menggambarkan kematian. Karena ketika mati , semua orang muslim itu akan ditutup dengan kain kafan yang warnanya putih,” katanya.