Jakarta – Generasi muda Indonesia harus bisa mengembalikan jiwa nasionalisme seperti yang pernah dilakukan para pahlawan saat merebut kemerdekaan dahulu. Itu penting karena seiring dengan kemajuan teknologi informasi, identitas kebangsaan generasi muda ikut tereduksi oleh berbagai macam paham-paham negatif, termasuk radikalisme dan terorisme.
“Fakta itulah yang membuat saya tidak pernah lelah memberikan wawasan kebangsaan kepada generasi muda, terutama mahasiswa. Ini panting mereka adalah generasi penerus bangsa dan masa depan Indonesia. Kalau ini tidak dilakukan saya khawatir nanti, akan banyak terjadi pengaruh buruk yang akan merusak bangsa dan negara ini,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, saat memberikan kuliah umum kebangsaan di depan sekitar 4000 mahasiswa Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN, Bintaro, Jakarta, Selasa (13/3/2018).
Menurut Komjen Suhardi Alius, generasi muda, terutama mahasiswa STAN, nantinya akan menjadi orang yang mengawaki instansi pemerintah di bidang keuangan. Hal itulah yang membuat mereka harus punya nasionalisme serta profesionalisme yang kuat, agar bisa membawa negara Indonesia semakin maju, mandiri, dan kuat menghadapi serangan ideologi asing.
Ia memberikan contoh saat para pemuda Indonesia yang tergabung Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain, berani menggaungkan persatuan Indonesia melalui Sumpah Pemuda, 29 Oktober 1928. Tekad itu sangat luar biasa karena digaungkan 17 tahun sebelum Indonesia merdeka. Nasionalisme itulah yang harus dibangkitkan kembali para generasi muda Indonesia, terutama mahasiswa, untuk membentengi Indonesia dari berbagai paham radikal terorisme yang mengancam keuntuhan NKRI.
“Negara butuh kita kalian. Masa depan Indoneasia jangan dirusak. Generasi muda harus menjadi garda terdepan untuk melawan berbagai hal yang mengancam perdamaian dan keutuhan NKRI,” imbuh mantan Kabareskrim Polri ini.
Pada kesempatan itu, Komjen Suhardi Alius menekankan kepada para rektor, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, bahwa infiltrasi radikalisme dan terorisme itu sudah masuk kemana-mana, terutama ke kampus. Contohnya, di salah satu provinsi di Jawa, ada seorang calon dekan yang terafiliasi ISIS hampir lolos dari seleksi dekan. Beruntung, masih bisa terdeteksi dan ia meminta Kemeneristek Dikti membatalkan pencalonan itu. Juga di provinsi lain, ada dosen seorang profesor yang memaska mahasiswa mengikuti pahamnya dengan mengintimidasi mahasiswa yang tidak mengikuti perintahnya.
Artinya, tidak ada lagi ruang yang luput dari ancaman radikalisme dan radikalisme, setelah kemajuan teknologi dan informasi yang sangat dahsyat, terutama melalui media sosial (medsos).
Untuk itu, ia meminta para generasi muda untuk mempersiapkan dirinya dengan baik menghadapi tantangan masa depan yang pasti akan semakin berat. Apalagi Indonesia adalah yang memiliki wilayah yang sangat luar dengan ribuan pulau dan suku bangsa. Bonus demografi itu membutuhkan orang-orang pintar, profesional yang memiliki pengetahuan, kemampuan, dan akhlak mulia.
Ia juga mengingatkan seluruh civitas akademika di Indonesia agar tidak diam saja menghadapi ‘serangan’ global terutama radikalisme dan terorisme. Ia mengajak seluruh pihak bila ada penyimpangan yang terjadi dan berpotensi merusak keutuhan NKRI, harus segera disikapi dan tidak diam saja.
“Kita harus berani bersuara dan memiliki sense of crisis bila melihat ada penyimpangan, apalagi menyangkut radikalisme dan terorisme yang terjadi di lingkungan kita. Kalau dibiarkan dan tidak cepat diklarifikasi, nanti akan semakin berkembang dan masyarakat menganggap paham itu benar. Cadilan change of agent (agen perubahan) demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi di masa mendatang,” papar mantan Sestama Lemhanas ini.
Tidak ketinggalan, Suhardi juga memaparkan strategi-strategi penanggulangan terorisme yang telah dan tengah dijalankan BNPT. Terutama upaya-upaya soft approach dengan merangkul mantan napi terorisme untuk menjadi agen perdamaian. Saat ini, sudah ada 127 mantan napiter yang bergabung untuk membantu BNPT melakukan deradikalisasi, terutama kepada rekan-rekan mereka yang masih terpapar paham kekerasan.
Ia bercerita langkah pertama saat baru menjadi Kepala BNPT yaitu dengan ‘menyentuh’ para mantan teroris di kampungnya Amrozi dan pesantrennya Khaerul Ghazali di Deliserdang. Awalnya, ide itu banyak mendapat tentangan, bahkan dicibir oleh mantan teroris, terutama terpidana seumur hidup Ali Imron. Namun ia benar mewujudkan tekad itu dengan mendatangi desa Tenggulun bahkan merangkul mantan teroris di sana. Tidak hanya itu, Suhardi juga menjadi inisiator membangun TPA dan masjid baik di Tenggulun maupun di pesantren Al Hidayah, Deliserdang.
“Penanggulangan terorisme tidak hanya dengan menindak (hard approach), tapi harus bisa menyentuh akar masalahnya. Mereka (mantan napiter) juga jangan dimarjinalkan agar tidak hopeless (hilang harapan) dan balik ke jaringannya. Terbukti sekarang kami sudah bisa merangkul 127 orang untuk bersama memerangi terorisme di Indonesia,” papar Suhardi.
Juga upaya paling gress BNPT yaitu “Silaturahmi Kebangsaan (Satukan) NKRI) dengan mempertemukan mantan napiter dan korban (penyintas). Pada pertemuan juga dihadirkan para menteri terkait seperti Menristek Dikti M Nasir, Mensos Idrus Marham, Menaker Hanif Dhakiri, dan perwakilan Kementerian Kesehatan, serta ditongkrongi Menkopolhukam Wiranto.
Dari pertemuan itu, dihasilkan kesepakatan bahwa para mantan napiter dan korban serta keluargnya akan dipermudah dalam mendapatkan pendidikan, bantuan sosial, pekerjaan, serta fasilitas kesehatan.