Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Subdit Subdit Resosialisasi dan Rehabilitasi (Resoshab) pada Direktorat Deradikalisasi pada tahun 2015 lalu telah merampungkan program identifikasi terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) atau terpidana kasus terorisme.
Pakar psikologi politik yang juga tergabung dalam tim identifikasi ini, Prof Dr. Hamdi Muluk, M.Si., mengatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan untuk mengetahui data-data dari Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) atau terpidana kasus terorisme sekaligus untuk mengembangkan instrumen tersebut untuk melihat skala-skala psikologis, kerentanan dan radikalisasi terhadap napi tersebut.
“Ini akan kami gunakan untuk melihat index radikalisasi dari napi tersebut. Sehingga kita tahu seberapa besar kadar radikal dari WBP tersebut dalam melakukan program deradikalisasi yang akan kita laksanakan nantinya,” ujar Hamdi Muluk dalam paparannya kepada para peserta, Kamis (3/3/2016) lalu
Dikatakan Hamdi Muluk, pihaknya juga akan mengembangkan lagi instrumen tersendiri yang ditujukan kepada napi yang baru masuk seperti yang baru ditahan di rutan Mako Brimob. Karena untuk identifikasi yang di Lapas dengan tujuan agar kita tahu kepala atau isi hati yang menyangkut variabel-variabel yang akan digunakan.
“Karena ini untuk menentukan resep deradikalisasi itu seperti apa. Karena kita ingin tahu karakter dan isi hati atau kepala napi ini secara individu. Seperti napi si A orangnya agak tertutup, pendendam, radikalnya masih tinggi dan tidak kooperatif. Lalu misalnya napi si B orangnya kooperatif, terbuka dan tingkat radikalnya sudah mulai bisa dikendalikan dan sebagainya. Ini yang kita perlu tahu,” katanya
Sehingga menurutnya masih banyak variabel-variabel yang akan dipakai bagi tim identifikasi ini yang nantinya akan digunakan sebagai acuan untuk mengetahui tingkat radikal bagi napi tersebut. “Sehingga kita semua tahu, dalam menghadapi masing-masing individu napi tersebut akan menggunakan resep seperti apa dan polanya seperti apa,” kata pria yang juga sebagai Guru Besar Universitas Indonesia ini
Karena dalam melaksanakan program deradikalisasi pihaknya melakukan dua macam pendekatan seperti melakukan counter ideologi dengan melakukan de-ideologisasi untuk melakukan treatment terhadap aspek kejiwaan napi tersebut.
“Kalau yang tidak terlalu perlu kita pakai disaggatment yang artinya WBP tersebut kita jauhkan dari kelompoknya untuk kita berikan kesibukan semacam pemberdayaan ekonomi, enterprenuer sehingga kita tidak menyentuh perasaan ideologi ataupun aspek-aspek lainnya karena sudah relatif bagus. Karena menuurtnya, hasil dari identifikasi sebelumnya sudah clear karena pihaknya sudah mengukur kadar radikal napi tersebut yang sudah rendah,” ujarnya.
Lalu terhadap WBP yang susah untuk dilakukan pendekatan atau susah untuk dilakukan pembinaan atau deradikalisasi, menurutnya perlu dipenjarakan secara khusus. “Orangnya masih keras, dikasih kesibukan supaya dia lupa dengan ideologinya juga tidak bisa, tentunya nanti akan ada rekomendasi dari kita agar napi tersebut di Inkapasitasi atau dipenjarakan secara khusus,” kata pria yang juga Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini
Jadi menurutnya, program identifikasi bagi terpidana yang telah dilakukan pada tahun lalu sangat penting sekali sekaligus untuk meng update data WBP terbaru sesuai dengan temuan-temuan yang ada di Lapas atau Rutan. Apalagi dengan ke-87 napi teroris yang sudah selesai tentunya akan berkembang lagi variabel-variabelnya.
“Apalagi terhadap napi yang baru tertangkap yang saat ini ditahan di Rutan Mako Brimob, tentunya akan ada instrumen tersendiri, apakah ada sangkut pautnya dengan kelompok lain atau napi yang ada di lapas dan sebagainya. Ini yang akan terus kita kembangkan untuk merumuskan resep yang tepat dalam melakukan program deradikalisasi nantinya,” ujar pria kelahiran 31 Maret 1966 ini mengakhiri.