Jakarta – Jamaah Haji dari seluruh dunia, mulai kembali ke negaranya masing-masing usai melakukan Rukun Islam yang ke-5 di Arab Saudi. Diharapkan, sepulang dari Ibadah Haji, para jamaah haji dari Indonesia mampu meningkatkan keimanan dan memberikan perubahan sosial di masyarakat setelah ‘digembleng’ secara spiritual di Tanah Suci.
Mantan Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2020-2022, Dr. Arief Subhan, M.Ag, mengungkapkan adanya budaya menarik terkait haji di Indonesia. Yakni, adanya identitas sosial yang melekat pada individu yang telah melaksanakan Ibadah Haji.
Bagi Arief, hal ini merupakan modal sosial yang dimiliki oleh para haji untuk melakukan gerakan-gerakan baik sosial keagamaan, perubahan sosial dan mengajak masyarakat untuk melakukan hal yang baik.
“Panggilan sebagai Pak Haji, itu merupakan suatu kehormatan. Kalau dihormati, kan otomatis dia punya otoritas. Dia mestinya punya ruang, punya peluang untuk mengajak masyarakat berbuat lebih baik,” ujar Arief Subhan di Jakarta, Jumat (7/7/2023).
Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin untuk memberikan kontribusi positif terhadap negeri, mengingat banyak para pendahulu bangsa, banyak melakukan perubahan sosial setelah menunaikan Ibadah Haji, maupun belajar agama di Mekkah, Arab Saudi.
Misalnya KH. Ahmad Dahlan, setelah pulang dari Mekkah mendirikan organisasi Muhammadiyah, kemudian hal serupa juga dilakukan KH. Hasyim Asyari sepulang belajar dari Tanah Suci mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
Selain itu, Peneliti pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengungkapkan ada tiga ajaran Islam yang penting yang terwujud dalam Ibadah Haji, yakni tauhid, egalitarianisme dan keadilan sosial.
Arief Subhan mengatakan inti dari Ibadah Haji merupakan tauhid. Di mana para jamaah mengucap takbir dan melaksanakan doa-doa haji untuk mengagungkan Allah SWT. Tauhid memiliki makna bahwa kita betul-betul mengesakan Tuhan. Hanya percaya, hanya mengerti dan hanya menyembah kepada Allah.
“Kita hanya mengakui adanya kekuatan itu ya, hanya Tuhan Allah itu tiada lainnya. Tauhid itu ajaran yang pertama dan itulah yang pertama kali diajarkan oleh Nabi,” ucap Arief.
Kemudian, egalitarianisme. Dalam Islam, Arief mengatakan, semua berada di strata yang sama, Allah tidak memandang manusia dari sudut pandang sosial maupun materi, kecuali tingkat iman ketakwaannya. Sehingga, Islam tidak membedakan antara satu suku dengan suku yang lain.
Salah satu implikasi atau salah satu model ajaran yang egaliter dari Islam itu terwujud dalam Ibadah Haji. Dalam menunaikan Ibadah Haji, setiap individu dituntut untuk melepaskan semua atribut yang dimiliki, apakah dia orang Indonesia, apakah dia orang Arab Saudi, atau dia orang Afghanistan. Semua dianggap sama.
“Jadi dia melepaskan itu dengan hanya semata-mata menggunakan identitas yang sama (pakaian ihram),” kata Arief yang juga dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Yang ketiga, Arief menambahkan, keadilan sosial. Islam sangat mementingkan keadilan sosial. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat anjuran wajib dan sunnah (volunteer) dalam bersedekah. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pemerataan atau sama rasa sebagai kesatuan umat Islam.
“Kalau yang berbagi sifatnya wajib, itu Zakat. Kalau yang volunteer kan infaq. Makanya itu dilakukan karena keadilan sosial itu penting dalam Islam. Dalam bagian dari perayaan haji, contoh yang sederhana, yaitu berbagi hewan daging kurban,” kata Arief menjelaskan.
Menurut Arief, kesempatan haji, khususnya dalam kewajiban Wukuf di Arafah, merupakan momen penting untuk para jamaah haji melakukan tafakur atau intropeksi diri. Oleh karena itu, setelah Ibadah Haji, para jamaah diharapkan menjadi haji yang mabrur, yang berarti lebih baik dari sebelumnya.
“Wukuf itu kan artinya berhenti ya. Berhenti, bertafakur, merenung tentang hidup, tentang diri, tentang apa yang bisa dilakukan dan seterusnya,” kata Arief mengakhiri.