“Hyperterrorism”: Disertasi Doktor UI Ungkap Wajah Baru Terorisme di Era Digital

Depok – Transformasi digital tidak hanya mengubah cara manusia berinteraksi, tetapi juga bagaimana terorisme berkembang. Dunia maya kini menjadi medan baru bagi radikalisme untuk menyebar, jauh dari pengawasan konvensional. Inilah yang menjadi sorotan utama Alexander Sabar dalam disertasinya yang berjudul “Hyperreality dan Simulacrum dalam Propaganda Terorisme Siber di Indonesia”.

Melalui riset mendalam yang dipresentasikan dalam sidang promosi doktor di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP Universitas Indonesia pada akhir bulan Juni kemarin, Alexander secara resmi meraih gelar Doktor Kriminologi dengan predikat Sangat Memuaskan.

Dalam paparannya, Alexander menyoroti bagaimana kelompok teror beradaptasi dengan era digital melalui penggunaan media sosial dan platform daring untuk menyebarkan propaganda, merekrut anggota, serta menciptakan realitas semu yang meyakinkan.

“Fenomena ini telah melahirkan bentuk baru dari terorisme yang saya sebut sebagai hyperterrorism,” jelasnya dikutip dari laman fisip.ui.ac.id.

Alexander menguraikan bahwa propaganda digital saat ini tidak sekadar menyampaikan pesan ekstrem, tetapi menciptakan hyperreality—realitas semu yang menggantikan kenyataan—yang diperkuat oleh simulacrum, atau representasi palsu yang dianggap sebagai kebenaran.

Menurutnya, radikalisasi digital terjadi melalui empat tahapan: refleksi, distorsi, penolakan realitas, hingga akhirnya mencapai tahap simulacrum-hyperreality. Dalam konteks ini, individu yang awalnya hanya simpatisan, secara perlahan terjerat menjadi pelaku teror akibat eksposur berulang terhadap narasi ekstrem.

“Pelaku teror sebenarnya sering juga merupakan korban dari rekayasa realitas di ruang digital. Mereka terseret dalam siklus propaganda yang begitu masif dan sistematis,” ujar Alexander.

Studi ini mengungkap bahwa dampak hyperreality dan simulacrum bukan hanya dirasakan oleh para pelaku, tetapi juga masyarakat luas. Alexander menyebut munculnya fenomena seperti cult radicalism (radikalisme soliter dan terintegrasi), moral panic, serta ketakutan kolektif terhadap ancaman yang sulit terdeteksi secara fisik.

“Di titik inilah propaganda digital menjadi bukti keberhasilannya—ketika ketakutan menyebar dan aksi teror menjadi bagian dari narasi yang terus direproduksi,” ujarnya. Ia menyebut proses ini sebagai the cycle of hyperreality and simulacrum.

Menjawab Ancaman: Strategi INTELLECT sebagai Rekomendasi Kebijakan

Sebagai solusi terhadap ancaman ini, Alexander menawarkan kerangka strategis INTELLECT (Integrated Technological and Legislative Counter-Terrorism Framework). Pendekatan ini menekankan pentingnya:

Peningkatan infrastruktur teknologi (INFRATEK) untuk deteksi dan pencegahan dini, serta

Program TRIAD (Terrorism Risk Awareness and Deradicalization) sebagai langkah edukatif dan rehabilitatif.

Disertasinya diyakini akan menjadi kontribusi penting dalam membentuk kebijakan kontra-terorisme yang lebih adaptif, khususnya dalam menghadapi tantangan dunia digital yang terus berkembang.

Sidang promosi doktor ini dipimpin oleh Prof. Dr. Drs. Dody Prayogo, MPST, dengan promotor utama Prof. Drs. Adrianus Eliasta Meliala, M.Si., M.Sc., Ph.D, dan kopromotor Prof. Dr. Drs. Muhammad Mustofa, M.A.. Sementara itu, deretan penguji turut memperkuat validitas akademik studi ini, termasuk Dr. Pratama Dahlian Persadha, Prof. Dr.-der.Soz. Rochman Achwan, Dr. Fristian Hadinata, Dr. Iqrak Sulhin, dan Dr. Dra. Vinita Susanti.

Dengan keberhasilan ini, Alexander Sabar tidak hanya meraih gelar doktor, tetapi juga memperkaya literatur kriminologi digital Indonesia dengan kajian mutakhir mengenai ancaman hyperterrorism—wajah baru terorisme yang tak lagi kasat mata, namun sangat nyata.