HUT RI Ke-79: Aktualisasi Semangat Kemerdekaan Melalui Pengamalan Pancasila

Jakarta – Merenungkan peringatan 79 tahun kemerdekaan Indonesia, terdapat tantangan baru dalam menjaga persatuan bangsa semakin kompleks, terutama dengan hadirnya era digital yang membawa perubahan besar. Radikalisme dan terorisme menjadi ancaman nyata yang dapat mengganggu stabilitas negara jika tidak ditangani dengan tepat. 

Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia, Dr. Ngatawi Al-Zastrouw, S.Ag., M.Si., Sabtu (17/8/2024), menyoroti peran penting nasionalisme dan Pancasila sebagai benteng utama dalam menjaga persatuan bangsa, serta langkah-langkah konkret yang perlu diambil untuk menghadapi ancaman radikalisme dan intoleransi. 

Dr. Zastrouw menjelaskan bahwa era digital telah membawa transformasi besar dalam cara masyarakat, terutama generasi muda, memandang nasionalisme. Semangat sebagai sesama bangsa Indonesia perlu dimaknai dengan lebih mendalam, mengingat adanya limitasi yang semakin kabur antar bangsa dan negara yang berbeda.

“Di era digital ini, terjadi pergeseran dari spirit citizenship menjadi netizenship. Spirit citizenship berbasis pada kewarganegaraan yang terikat oleh batasan-batasan geografis dan sistem politik. Namun, di era digital, batas-batas ini semakin kabur. Generasi muda kini hidup dalam lingkungan lintas negara, budaya, dan ideologi yang hanya dibatasi oleh logaritma digital, itulah netizenship,” ungkapnya.

Meskipun begitu, Dr. Zastrouw menegaskan bahwa nasionalisme tetap relevan. Alasannya, meskipun dunia maya memungkinkan interaksi manusia tanpa kenal batasan waktu dan tempat, dalam kehidupan nyata, mereka tetap berinteraksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Fenomena ini juga mengubah pandangan kebanyakan orang dalam memaknai arti dari nasionalisme.

Pengikat nasionalisme saat ini tidak lagi hanya didasarkan pada imajinasi kolektif atau pengalaman bersama, tetapi pada nilai-nilai kemanusiaan seperti harga diri dan kesejahteraan. Jika hak-hak kemanusiaan warga negara terjamin, mereka akan dengan mudah menjalankan kewajiban dan komitmennya terhadap bangsa dan negara,” jelas Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta ini.

Ketika membahas upaya menangkal radikalisme, Dr. Zastrouw menegaskan bahwa Pancasila adalah penawar yang paling efektif. Namun, ia juga menyoroti bahwa implementasi Pancasila belum sepenuhnya nyata dalam kehidupan sehari-hari. 

“Saya perlu menekankan pentingnya aktualisasi Pancasila dalam bentuk nyata, sehingga dapat menjadi pengikat yang efektif di tengah keberagaman bangsa. Sejatinya, Pancasila memberikan ruang bagi setiap manusia untuk mengaktualisasikan pandangan keagamaan secara manusiawi. Konsep ‘ketuhanan yang berkebudayaan’ yang digaungkan oleh Bung Karno adalah wujud dari beragama secara manusiawi, yang mencakup penciptaan kesejahteraan dan keadilan sosial,” ujarnya.

Untuk menghadapi radikalisme di kalangan generasi muda, Dr. Zastrouw menyoroti pentingnya keteladanan dan praktek-praktek hidup yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, anak muda di masa sekarang tidak bisa lagi hanya dijejali narasi dan retorika para pemimpin negeri ini.

Keteladanan dari para pemimpin bangsa dalam beragama dan bermasyarakat menjadi inspirasi penting bagi generasi muda. Keteladanan ini tidak hanya dalam bentuk ceramah, tetapi juga melalui tindakan nyata yang dapat dilihat dan dijadikan rujukan.

Selain itu, Dr. Zastrouw sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Jejaring Dunia Santri, juga menekankan perlunya mengarusutamakan praktek-praktek hidup yang mencerminkan Pancasila. Ia memberikan contoh bagaimana di kampung-kampung dan desa-desa, banyak terdapat praktek kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, seperti gotong royong dan kerukunan antar umat beragama. 

Menurut Dr. Zastrouw, generasi muda saat ini sering kali lebih mengenal nilai-nilai yang datang dari budaya asing, baik dari Timur Tengah maupun Barat. Oleh karena itu, penting untuk memperkenalkan bahwa nilai-nilai Pancasila juga dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ia mencontohkan bagaimana gerakan crowdfund yang dilakukan saat pandemi adalah bentuk gotong royong dalam versi modern. 

“Crowdfund yang secara mandiri dilakukan oleh banyak anak muda saat pandemi lalu hanyalah salah satu bentuk gotong royong, yang juga menjadi jiwanya Pancasila. Karenanya, Indonesia harus lebih berbangga diri lagi sebagai sebuah bangsa dan paham betul, bahwa sesuatu yang baik tidak harus datang dari wilayah Arab ataupun negara Barat,” tegasnya.

Dr. Zastrouw menutup penjelasannya dengan harapan agar generasi muda Indonesia dapat membangun imunitas ideologi yang kuat terhadap radikalisme dan intoleransi. Vaksinasi kultural melalui pengamalan Pancasila secara nyata adalah kunci untuk menjaga persatuan dan menghadapi berbagai ancaman ideologis.