Solo – Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Willy Pramudya, mengungkapkan keprihatinannya terhadap semakin parahnya peredaran berita bohong atau hoax di tengah masyarakat. Hoax juga disebutnya menjadi potensi lahirnya lone wolf, fenomena baru aksi terorisme oleh pelaku tunggal.
Hal ini disampaikan Willy saat menjadi pemateri di kegiatan Visit Media Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah ke redaksi harian Solo Pos, Rabu (4/10/2017).
“Kita lihat fenomena lone wolf. Pelakunya mendadak jadi radikal dan nekat beraksi karena pengaruh berita bohong. Mereka jadi radikal karena terperangkap pemberitaan yang dibelokkan dan jadi alat propaganda paham radikalisme,” ungkap Willy.
Peredaran hoax, lanjut Willy, di antaranya terjadi karena kesalahan redaksi media massa yang kurang teliti dalam menyusun pemberitaan. Antara lain penggunaan diksi yang tanpa disadari merupakan propaganda penyebarluasan paham radikal terorisme.
“Fa’i, thogut, pengantin, itu kata-kata yang diciptakan pelaku agar aksi mereka dianggap agamis, tapi media menggunakannya tanpa mengecek maknanya. Di masyarakat kata-kata itu dimanfaatkan dan jadi sarana propaganda radikalisme terorisme,” jelas Willy.
Untuk meredam kondisi itu Willy mendorong redaksi media massa tidak lagi menggunakan diksi-diksi tersebut. Media juga disorong kembali ke profesioanalismenya, tunduk dan patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik, UU Pers dan Kode Perilaku. “Jangan mengglorifikasi berita, jangan melakukan framing, dan jangan melanggar aturan-aturan lain di Kode Etik Jurnalistik,” tegasnya.
Pemimpin Redaksi Solo Pos, Suwarmin, sependapat dengan apa yang disampaikan Willy Pramudya. Persoalan diksi diakuinya merupakan persoalan sehari-hari yang dihadapi redaksi, dan untuk mengatasinya dibutuhkan penerapan profesionalisme media.
Anggota Dewan Pers, Ratna Komala, di kesempatan yang sama mengingatkan mulai lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap media massa pers akibat maraknya peredaran hoax. Untuk menghindari hal tersebut, dia mengajak intitusi pers kembali ke profesionalisme.
Visit Media merupakan salah satu metode yang dijalankan di kegiatan Pelibatan Media Massa dalam Pencegahan Terorisme. Satu metode lainnya adalah Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat. Kegiatan ini digelar atas kerjasama BNPT dan 32 FKPT di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2017. [shk/shk]