Jakarta – Seperti sudah dikhwatirkan sejak awal, hoaks (berita bohong) benar-benar merajalela jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Tidak tanggung-tanggung, hoaks maha dahsyat dilakukan seorang tokoh nasional yang juga masuk menjadi salah satu juru kampanye salah satu calon presiden (capres). Ironisnya, hoaks itu terjadi saat bangsa Indonesia berduka dengan musibah bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala.
“Kasus hoaks Ratna Sarumpaet membuka mata bahwa media sosial kita masih sering digunakan untuk menyebarkan hoaks, khususnya di tahun politik ini. Dan sesungguhnya, fakta yang ada jauh lebih memprihatinkan, media sosial masih digunakan untuk menyebarkan politik kebencian, yang dikhawatirkan bisa mengoyak persaudaraan bahkan menjurus ke arah konflik sosial, di tengah minimnya tingkat literasi masyarakat,” ujar Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, Senin (8/10/2018).
Septiaji mengungkapkan, dalam catatan Mafindo, selama bulan September 2018, ada 86 topik hoaks, dimana 59 diantaranya adalah hoaks terkait politik. Dari 59 itu, ada 52 terkait Pilpres 2019. Ia menyesalkan maraknya hoaks politik di media sosial, sehingga perhatian masyarakat kepada hal yang jauh lebih penting, seperti bersinergi untuk membantu masyarakat terdampak bencana di Palu dan Lombok, menjadi teralihkan. Buntutnya, masyarakat malah berdebat untuk topik remeh yang ternyata hanyalah hoaks.
“Hoaks politik ini sempat mengambil alih panggung opini publik, yang tentu menciderai perasaan masyarakat terdampak bencana. Karena ketika mereka seharusnya mendapatkan perhatian utama dari publik pasca bencana, tetapi justru masyarakat diajak bertengkar untuk isu yang tidak penting,” imbuh Septiaji.
Fakta inilah yang membuat Mafindo terus melakukan literasi agar masyarakat bisa meningkatkan kualitas pola pikir yang lebih kritis ketika menerima informasi, khususnya di media sosial dan grup percakapan seperti WA. Masyarakat juga jangan mudah menyebarkan informasi, kalau belum jelas kebenarannya.
Menurut Septiaji, masyarakat harus bisa berperan aktif membersihkan konten negatif di media sosial dengan bersama-sama melakukan siskamling digital, melaporkan jika ada konten bermasalah, baik ke platform (Facebook, Twitter, Instagram), ke Kementrian Kominfo melalui aduankonten.id, ke Bawaslu untuk konten terkait issue pemilu, dan Polri untuk konten pelanggaran hukum. Masyarakat juga wajib menggalakkan kegiatan bersama satu hari tanpa hoaks (hoaks free day).
Selain kualitas literasi masyarakat, lanjutnya, upaya penting yang harus dilakukan adalah memperbanyak silaturahmi dan guyub antara masyarakat, terlebih antar tokoh masyarakat, agama, dan publik. Menurutnya, tatap muka bisa mencairkan kecurigaan, bertemu wajah bisa menghapus prasangka.
“Di era digital ini, jangan sampai kita mengenal masyarakat lain yang beragam hanya sepotong dari media sosial, tapi kita harus mengenal sepenuhnya dari pertemuan dan tatap muka,” ajak Septiaji.
Ia menegaskan, Mafindo tetap komitmen dalam empat hal. Pertama melakukan cek fakta untuk setiap isu yang berpotensi meresahkan masyarakat. Itu setiap hari dirilis di TurnBackHoax.ID, dan juga bersama dengan 22 media online yang berpengaruh di CekFakta.Com.
“Selain itu kami menggerakkan relawan di 18 kota untuk terjun langsung di masyarakat menyampaikan edukasi literasi, mengajak komponen masyarakat dari level keluarga, tentang pentingnya bermedsos yang sehat untuk menjaga kesatuan negeri. Kami juga mendorong upaya silaturahmi antar masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan sarasehan, kampanye publik, dan diskusi publik,” pungkas Septiaji.