HNW: Keberagaman Agama Tak Membuat Indonesia Pecah Namun Justru Makin Kuat

Jakarta – Ratusan umat Kristen yang terhimpun dalam ‘Central Kristen
Indonesia (CKI)’ mengikuti Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yaitu
Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika Gedung
Nusantara V, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin
(22/7/2024). Sosialisasi menghadirkan narasumber Wakil Ketua MPR Dr.
H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, Lc., MA (HNW) dan anggota MPR/DPR Dr.
H. Mardani Ali Sera, M.Eng.

Pimpinan CKI yang hadir dalam sosialisasi itu, Ketua Umum DPP CKI
Brigjend Pol (Purn) Dr. Karel Albert Rahalu, Sekjen CKI Pdt Dr. Herry
Saragih, Ketua CKI DPD Jakarta Pdt. Kol (Purn) Robert Haposan, dan
ketua-ketua CKI Jawa Tengah serta Banten.

Di hadapan ratusan peserta sosialisasi, HNW mengatakan ini merupakan
Sosialisasi Empat Pilar MPR yang bersejarah karena mendapat kehormatan
kunjungan dari pimpinan dan anggota CKI.

“Meski kami sudah terbiasa bertemu dan menerima beragam komunitas
kristiani”, ujarnya, “Kami juga pernah melakukan sosialisasi di
Manado, Sulawesi utara atas undangan Komunitas Kristiani di sana,”kata
HNW.

“Menerima dari beragam delegasi membuktikan MPR merupakan rumah untuk
seluruh rakyat Indonesia,” imbuh Ketua Badan Wakaf Pondok Mondern
Darussalam Gontor itu.

HNW mengungkapkan bahwa sosialisasi ini diperuntukan untuk seluruh
warga bangsa, baik yang ada di Indonesia maupun di luar negeri.

HNW juga mengungkapkan sosialisasi digelar bersama dengan berbagai
kampus, sekolah, kelompok agama, ormas, profesi, komunitas. Bahkan
Sosialisasi Empat Pilar ini juga digelar di luar negeri.

Diceritakannya bahwa suatu saat ia melakukan kunjungan delegasi ke
kantor PBB di Geneva, Swiss. Selepas mengunjungi kantor berhimpunnya
negara di dunia itu, ia berkunjung ke Kantor IPU (Inter Parliementary
Union), wahana berhimpunnya parlemen dari berbagai negara. Markas IPU
juga di Geneva.

Saat di IPU, alumni Universitas Madinah, Saudi Arabia, itu menjelaskan
tugas dan kewenangan MPR, salah satunya melakukan Sosialiasi Empat
Pilar. Mendapat pemaparan demikian, Pimpinan IPU merasa kaget karena
ada negara yang mengurusi warganya demikian cermatnya sampai-sampai
ideologi dan konstitusi disosialisasikan.

“Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang parlemennya
melakukan itu”, tukasnya.

Empat Pilar ini merupakan warisan sikap kenegarawanan para pendiri
bangsa. Bangsa ini didirikan oleh Bapak dan Ibu Bangsa. “Fakta bahwa
Indonesia tidak hanya didirikan oleh Bapak Bangsa namun juga
dilahirkan oleh Ibu Bangsa,”, ungkap HNW.

Dari anggota BPUPK, dua di antaranya adalah dari kaum Perempuan. Dua
Ibu Bangsa itu adalah

Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito dan Mr. Hj. Raden
Ayu Maria Ulfah. Dua-duanya aktivis perempuan. Maria Ulfah adalah
perempuan pertama dari Indonesia yang mendapat gelar master hukum di
masa kolonialisme Belanda. Ia lulusan Universitas Leiden. Selanjutnya
ia menjadi menteri sosial.

Bapak dan Ibu Bangsa itu menurut HNW memberikan warisan kenegarawanan.
Warisan kenegarawanan yang diturunkan ke anak dan cucunya hingga saat
ini adalah disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara, UUD Tahun
1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Empat hal tersebut dilahirkan dengan perdebatan yang begitu  akrab dan
hangat. Lebih lanjut diungkapkan, Bapak dan Ibu Bangsa dalam dinamika
yang ada saling memberi, menerima, mendengarkan, dan bisa memutuskan
pendapat secara bersama. Hal demikian merupakan dinamika positif yang
luar biasa, keteladanan yang sangat merakyat, yang harus menjadi
inspirasi kita sehingga selamst dan merdekalah Indonesia dengan
disepakatinya Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal
Ika melalui proses yang sangat demokratis.

Dalam mencari rumusan dasar negara, dalam sidang-sidang BPUPK, 29 Mei
hingga 1 Juni 1945, ada pikiran-pikiran kebangsaan yang disampaikan
oleh Soekarno, Mohammad Yamin, dan Soepomo. Soekarno berpidato dengan
menyampaikan gagasan dasar negara yang terdiri dari lima sila yaitu,
kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi,  keadilan sosial,  dan ketuhanan.

Dari anggota BPUPK yang berasal dari latar golongan Islam, menghendaki
atau mengusulkan dengan pendekatan yang demokratris, dengan didasari
bangsa ini mayoritas penduduk beragama Islam maka golongan Islam
mngusulkan agar Islam menjadi dasar negara.

Dua usulan yang ada, yakni kebangsaan dan Islam, tidak membuat rapat
BPUPK mengalami deaclock, saling menegasikan atau saling memusuhi.
Untuk mencari titik temu maka dibentuklah panitia khusus. Dr. Radjiman
W sebagai Ketua BPUPK pun membentuk Panitia 8. Panitia ini diketuai
oleh Soekarno.

Melihat komposisi Panitia 8 yang tidak proporsional maka Soekarno
dengan kenegarawanannya membentuk Panitia 9 sebab bila masih berjumlah
8 orang maka hal demikian tidak menyelesaikan masalah karena tidak
adil dan tidak akan menghadirkan suatu kompromi sebab komposisnya
timpang.

Di Panitia 9 ada empat dari kalangan nasionalis non-agama dan lima
dari kalangan nasionalis agama. Dari kalangan nasionalis non-agama
adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, dan Achmad Soebardjo.
Sedang dari kalangan nasionalis agama adalah Alexander Andries (AA)
Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, Agus Salim,
dan Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim.

“Lima dari kelompok nasionalis agama, empat Muslim, satu kristiani
yakni AA Maramis,” ungkap HNW.

HNW dengan tegas mengatakan dirinya tidak menggunakan istilah kelompok
nasionalis dan agama sebab hal demikian akan menimbulkan kesalahan
pikiran orang. Bila menggunakan istilah itu seolah-olah yang
nasionalis tidak beragama, yang beragama tidak nasionalis. “Itu
pendapat yang tidak tepat”, paparnya.

Meski berbeda golongan dan agama, akhirnya Panitia 9 menyepakati
Pancasila sebagai dasar negara. Meski sudah sepakat Pancasila namun
saat itu masalahnya belum selesai sebab Sila I yang masih mengadung 7
kata, yakni ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya’ mendapat respon keberatan dari perwakilan
Indonesia bagian timur. Salah satu toko yang merasa keberatan dengan 7
kata itu adalah Mr. Latuharhary.

Meski ada keberatan hal demikian menurut HNW tidak membuat bangsa ini
pecah namun Bapak dan Ibu Bangsa tetap mampu dan mau mencari solusi.
Salah satu anggota Panitia 9, yakni Bung Hatta, bertemu dengan
tokoh-tokoh umat Islam kemudian menyampaikan tentang masalah ini.

“Tanpa berlama-lama 4 tokoh umat Islam itu memahami dan menyepakati
untuk mengubah 7 kata dalam Piagam Jakarta menjadi Ketuhanan yang
Mahaesa,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa sikap umat Islam yang menerima penghapusan 7 kata
membuat bangsa ini selamat dari perpecahan, dan disepakatilah rumusan
akhir dari Pancasila, yang disahkan pada 18 Agustus 1945, dan
termaktub dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD 45.

“Jadi keterbukaan, kebersamaan, keberanian berpendapat, menerima
pendapat, berdialog secara dewasa, mencari dan menyepakati maslahat
terbesar bagi bangsa dan negara, itulah yang menjadi keteladanan dan
kenegarawanan yang diwariskan Bapak & Ibu Bangsa dan menjadi solusi
atas berbagai masalah bangsa”, tegasnya.

HNW lebih lanjut mencontohkan banyak peristiwa bisa tersolusikan
berkat adanya faktor di atas, seperti kembalinya bentuk negara ke
NKRI. “Ketua Fraksi Islam Masyumi di Parlemen, Mohammad Natsir, dengan
dukungan dari kelompok Katolik, Kristen, dan yang lainnya, berjasa
mengembalikan bentuk negara dari RIS ke NKRI, sesuai cita-cita
Indonesia Merdeka,”, paparnya..

Karenanya HNW berkesimpulan dan berharap agar keberagaman agama tidak
membuat bangsa ini pecah atau terpisah namun justru bisa makin kuat
dan bersatu padu.

“Agama yang menjadi sila pertama Pancasila dan ketentuan UUD 45,
menjadi solusi masalah bangsa dan bukan sebaliknya”, pungkasnya.