Jakarta – Terciptanya iklim demokrasi yang sehat dan kondusif merupakan harapan bagi banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Demokrasi yang kondusif bisa lahir dari masyarakat yang telah mendapatkan pendidikan politik dan konsep kebangsaan secara matang. Kondisi seperti ini tentunya bisa terwujud jika iklim perpolitikan di Indonesia telah bebas dari praktik politik identitas.
Disadari atau tidak, politik identitas masih menjadi ancaman yang bisa mencederai proses demokrasi di Indonesia. Terkait hal ini, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag. mengatakan dalam memahami dan menghadapi praktik politik identitas yang terkadang masih dijumpai.
“Politik identitas adalah sebuah upaya (politik) yang sering menggunakan kendaraan tertentu, seperti etnis, agama, budaya tertentu, dan mereka mempolitisasi dengan begitu masifnya, biasanya untuk tujuan pragmatis,” ujar Prof. Syamsul ketika dihubungi di Semarang, Rabu (8/2/2023).
Menurut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo ini, para pelaku praktik politik identitas biasanya melakukan aksinya tanpa memproyeksikan sebuah gagasan besar untuk membangun iklim demokrasi yang sehat. Para oknum ini hanya berpikir bagaimana caranya menang, caranya mereka agar mampu memberikan tekanan pada lawan politiknya, sehingga ending-nya adalah sebuah polarisasi yang tajam karena para pelakunya menggunakan praktik politik yang kurang elegan dan kurang demokratis.
Ia menambahkan bahwa efek samping dari politik identitas yang muncul, berkembang, dan kemudian disebarkan secara terus-menerus akan menimbulkan polarisasi sehingga berujung pada upaya untuk menggoyang pemerintah yang sah. Tujuan ini dicapai dengan cara mengintimidasi atau bahkan melakukan kekerasan, baik pemikiran, tindakan ataupun yang lain-lain yang akan merusak sebuah iklim demokrasi, persatuan dan kesatuan.
Syamsul juga menjelaskan bahwa memang metode kampanye dengan memanfaatkan politik identitas, bagi sebagian orang merupakan cara yang menarik.
“Kalau persoalan seksi, ya seksi. Bahkan banyak orang yang kalau tidak waras itu akan terpesona. Kalau tidak waras, tidak rasional itu akan mudah terpesona, karena memang menarik, terutama kepada syahwat-syahwat politik dan dijustifikasi dengan fenomena agama. Agama jadi ditarik pada kepentingan sesaat. Ini akan menjadi sesuatu yang akan mudah untuk membakar emosi masyarakat,” ucapnya.
Mengutip pernyataan dari K.H. Hasyim Asyari yang berbunyi “hubbul wathon minal iman.” Menurutnya, pernyataan ini memiliki arti bahwa cinta tanah air/nasionalisme itu bagian dari iman. Baik nasionalisme atau pun agama harus saling menguatkan satu dengan yang lainya.
Oleh karena itu, Prof Syamsul berharap bahwa kontestasi pemilihan umum seharusnya justru bisa menampilkan gagasan ataupun ide yang berbeda dari masing-masing pihak yang berkompetisi, daripada hanya menjual ciri khas saja.
“Ini (politik identitas) akan menjadi bumerang jika tidak segera direduksi dengan moderasi cara pandang dalam berpolitik. Seharusnya kita bisa menciptakan gagasan-gagasan untuk membangun iklim demokrasi, misalkan Pemilu ya Pemilu yang sehat dengan mencari ataupun memilih pemimpin berdasarkan pada moralitas, kecakapan, dan profesionalitas. Jadi ini menumbuhkembangkan kedewasaan di dalam proses demokrasi melalui pintu Pemilu untuk memilih pemimpin yang didasarkan kepada kapabilitas, kompetensi, profesionalitas, daripada mengedepankan isu-isu sensitif atau pun menggunakan politik identitas,” lanjutnya.
Ia berpesan akan pentingnya mendorong kedewasaan masyarakat agar menjadi masyarakat yang demokratis. Salah satu contoh adalah menang atau kalah harus disikapi sebagai kehendak Tuhan sehingga siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Selain itu, kontestasi politik jangan dijadikan persoalan rivalitas semata, namun sebagai upaya bersama untuk membangun bangsa yang terhormat melalui proses-proses konstitusi. Proses Pemilu yang ada diharapkan dapat menjadi awal mula pendewasaan orang Indonesia sebagai masyarakat yang bermartabat dalam menjalankan demokrasinya.
“Tidak ada tempat berkembang biaknya politik identitas (di Indonesia), karena itu melawan konstitusi, tidak selaras dengan nilai-nilai dasar Pancasila dan bahkan terkadang ini bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Nah ini harusnya menjadi suatu kesadaran, jadi back to basic, kembali kepada prinsip-prinsip agama. Semakin orang itu menjadi taat, muttaqin, itu harusnya takut terhadap efek samping dari politik identitas yang menghalalkan segala cara,” tegasnya.
Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang ini juga menegaskan bahwa politik yang bermartabat itu mulai dari sekarang harus ditata melalui rekayasa sosial dan pendidikan budaya yang baik. Ia juga mengajak untuk segera mendorong terciptanya stabilitas dalam cara pandang dalam memahami keanekaragaman sebagai fitrah atau desain Tuhan.
“Hilangkan sekat-sekat di antara kita ini dengan rekayasa kebersamaan supaya bisa mengenal satu sama lain, lita’arofu, bisa mengenal satu budaya dengan budaya lainnya. Kita harus senantiasa dewasa, lebih mengedepankan ilmu, pengetahuan, mengesampingkan syahwat kepentingan atau apalagi nafsu politik sesaat itu,” tutup Prof. Syamsul.