Jakarta – Kisah ‘hijrah’ yang dilakukan ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) ke Negeri ‘Daulah Islamiyah’ di Suriah di bawah naungan Khilafah tenryata tidak sebagaimana yang diharapkan seperti yang awalnya dijanjikan kelompok Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) yang sebelumnya tidak diketahui sebagai kelompok radikal terorisme.
Banyak dari mereka yang terpedaya dengan propaganda kelompok ISIS di berbagai media sosial (medsos) tentang ajakan hijrah ke Suriah. Mereka dulu dengan bangganya meninggalkan Tanah Air Indonesia yang sejatinya penuh dengan kehidupan yang damai. Paspor pun dulu juga telah mereka bakar.
Namun yang terjadi saat ini jutsru ratapan kesedihan itu mengalir akibat nasib yang tidak menentu dengan menimbulkan penyesalan seiring dengan runtuhnya ISIS. Ketika ‘Khilafah’ telah hilang, kini mereka berharap untuk bisa kembali pulang ke Indonesia. Namun Pemerintah RI pada Selasa (11/2/20200 kemarin telah memutuskan untuk tidak memulangkan eks. WNI-nya yang ada di Suriah tersebut.
Berkaca dari kejadian yang dialami eks. WNI anggota ISIS di Suriah tersebut, Pengamat Hukum Internasional, Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, Ph.D, meminta kepada masyarakat Indonesia untuk menjadikan masalah tersebut sebagai pelajaran penting agar tidak mudah termakan bujuk rayu dan propaganda dari kelompok radikal terorisme ketika ada ajakan untuk hijrah ke negeri Khilafah ?
“Saya berharap bahwa masyarakat kita ini benar-benar paham betul bahwa adanya iming-iming untuk hidup lebih baik, lalu bisa masuk surga itu ternyata tidak benar. Bahwa urusan masuk surga itu tentunya keputusan dari Tuhan Yang Maha Kuasa,” ujar Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, Ph.D di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Menurut Hikmahanto, sebagai Warga Negara Indonesia tentunya harus bisa mensyukuri dengan apa yang sudah dapatkan sekarang ini. Dimana kondisi negara yang penuh keragaman seperti ini, masyarkat bisa hidup dengan damai, sehingga masyarakat tidak perlu lagi untuk kemudian berpikir untuk berhijrah dan lain sebagainya.
“Karena toh akhirnya yang kita lihat sekarang ini bahwa ISIS itu sudah tidak ada apa-apanya lagi. Jadi mudah-mudahan masyarakat tidak mudah tergoda dan terus menjadi Warga Negara Indonesia yang baik, bisa menjaga perdamaian, jangan kemudian bersentuhan dengan hal-hal yang berkaitan dengan terorisme,” ujar pria yang juga Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Untuk itu dirinya meminta kepada masyarakat untuk bisa memperkuat resilience (ketahanan) agar tidak mudah percaya terhadap propaganda yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menentang terhadap ideologi bangsa ini dengann cara mencerna secara baik dan menggunakan logika yang benar terkait berbagai cerita manis ajakan untuk hijarah ke negeri lain.
Masyarakat harus punya resiliemce. Harus bisa melihat secara jernih apakah cerita manis tersebut realistis atau tidak. Apa untung dan ruginya. Bila perlu masyarakat juga berkonsultasikan ke orang yang lebih tahu dan bisa dipercaya misalnya kepada tokoh agama atau ustad bahkan lebih penting lagi juga menayakan ke aparat pemerintah maupun aparat hukum,” ujarperaih British Achieving Award dari Pemerintah Inggris ini..
Selain itu menurutnya seluruh komponen pemerintah juga harus ikut berperan aktif untuk menguatkan resilience masyarakat. “Pemerintah mungkin melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga harus mengencarkan soasialisasi ke masyarakat bahwa menjadi Warga Negara Indonesia ini adalah sebuah kebanggaan,” ujar anggota kelompok ahli BNPT bidang Hukum Internasional ini.
Terkait isu berita wacana pemulangan eks WNI yang sebelumnya gencar diberitakan, Hikmahanto mengatakan bahwa landasan negara untuk menyikapi kebijakan untuk memulangkan atau tidaknya tentu didasarkan terhadap mereka mereka yang bergabung pada ISIS ini merupakan WNI atau bukan. Karena kalau bukan WNI lagi, tentunya tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memulangkan.
Karena menurut Undang-Undang No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan turunannya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 sudah disebutkan bahwa, seseorang itu bisa secara otomatis kehilangan kewarganegaraan apabila memenuhi beberapa kualifikasi.
“Ada dua kualifikasi yang utama. Pertama, dalam pasal 23 huruf d adalah kalau mereka ikut di dalam dinas tentara asing. Di situ bukan disebut negara. Jadi ikut tentara asing. Yang dimaksud tentara asing ini bisa pemberontak mungkin dan lain sebagainya,” ujar peraih Doktoral dari Universitas Nottingham, Inggris ini.
Selanjutnya yang kedua menurutnya, sesuai dengan pada pasal 23 huruf f adalah apabila mereka mengangkat sumpah untuk setia pada sebuah negara atau bagian dari negara. Dan menururtnya jika ISIS ini merupakan pemberontak dan merupakan bagian dari negara serta eks. WNI itu sudah melakukan Sumpah Setia, maka mereka sudah kehilangan kewarganegaraan.
“Atas dasar ini kalau mereka kehilangan kewarganegaraan maka tentu mereka sudah tidak lagi menjadi kewajiban Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan mereka ataupun melindungi mereka. Tidak ada itu,” ujar pria kelahiran Jakarta, 23 November 1965 ini menegaskan.
Lalu menurutnya, ada pihak yang mengatakan bagaimana dengan anak, karena anak itu tidak punya kuasa ketika orang tuanya mau pergi ke Suriah. Namun permasalahannya adalah apakah anak ini ikut dalam dinas perang tentara atau tidak. Karena biasanya di kelompok teroris ini, pada usia yang sangat belia mereka ikut dan mereka ini sudah di brainwash (cuci otak).
“Nah kita harus tahu terlebih dahulu seberapa terpapar anak-anak ini. Belum lagi kalau anak ini harus kembali ke Indonesia, sementara orang tuanya tidak dikembalikan. Berarti anak itu nanti bisa merasa bahwa dia dipisahkan secara paksa oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah Indonesia. Tentunya itu nantinya akan memunculkan dendam dan yang pasti nantinya juga akan menyulitkan pemerintah sendiri,” katanya.
Hikmahanto juga menegaskan kalau Indonesia tidak melanggar Hak Kemanusiaan dan Hak Kewarganegaraan ketika menolak untuk memulangakn eks.WNI anggota ISIS tersebut. Hal ini dikarenakan mereka sudah bukan WNI lagi. Lalu apa dasar kemanusiaan yang dipakai ketika mereka mereka yang tergabung dalam ISIS itu melakukan pembunuhan terhadap orang-orang tidak berdosa.
“Kalau saya perhatikan bahwa alasan kemanusiaan itu akan berakhir ketika keselamatan dari bangsa dan negara itu sudah mulai muncul. Kita harus tahu bahwa kalau misalnya mereka kembali dan kita tidak bisa menanggulangi penyebaran paham idiologi dari ISIS ini, nanti ujungnya akan mengganggu keselamatan dari bangsa ini sendiri,” ujar mantan Dekan Fakultas Hukum UI ini
Peraih gelar Master Hukum Internasional dari Keio University, Jepang ini juga mengatakan dampak lain juga harus dipikirkan pemerintah jika telah mengambil keputusan untuk tidak memulangakan WNI ini.Yang salah satunya juga harus memperketat perbatasan yang bisa menjadi pintu masuk.
“Pemerintah mengambil kebijakan tidak memulangkan mereka ini tentunya sudah benar dan kita sebenarnya perlu waspada di tempat pemeriksaan imigrasi. Tapi saya yakin mereka mereka itu kan jauh dari Indonesia. Tentunya mereka harus memakai pesawat terbang, sehingga kita agak lebih tenang untuk tidak menerima mereka kalau misalnya mereka datang sendiri.
Namun lain halnya kalau mereka melakukan cara-cara lainyang akhirnya mereka mampu untuk keluar dari Syria atau dari Irak terus kemudian masuk ke Indonesia. “Nah kalau misalnya mereka nantinya ketahuan ya tentunya mereka harus menghadapi proses hukum dan lain sebagainya di Indonesia,” ujar Hikmahanto mengakhiri