Jakarta – AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan bahwa selamanya khilafah tidak kompatibel dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dia mengatakan itu terkait dengan langkah pemerintah membubarkan ormas yang bertentangan dengan Pancasila.
Menurut Hendropriyono, yang juga Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), khilafah berbicara soal umat, sementara NKRI berbicara soal warganegara. Umat itu eksklusif, warganegara inklusif. Umat itu harus patuh pada khilafah, sedangkan warganegara boleh berbeda pendapat dengan pemerintahan negara.
“Khilafah, berbicara tentang bagaimana menjadi manusia utama dari kacamata Islam. Sedangkan Republik Indonesia menjamin hak setiap orang untuk menjalani hidup sesuai dengan keyakinannya masing-masing selama masih dalam koridor praksis Pancasila,” kata Hendropriyono pada acara Temu Kader Kebangsaan Indonesia di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, kemarin.
Diungkapkan, khilafah melindungi minoritas tetapi tidak melindungi hak politik mereka untuk dipilih menjadi pemimpin publik. NKRI menjamin hak setiap warga tanpa kecuali. “Ini membuat kita lebih banyak alternatif untuk mendapat pemimpin-pemimpin yang cakap dan kompeten,” ujarnya.
Hendropriyono mendukung langkah pemerintah untuk menindak Ormas yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila. Dia juga mengajak semua komponen bangsa untuk mencegah paham radikalisme dan terorisme karena dapat mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Secara terpisah, mantan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, yang tampil sebagai salah satu pembicara dalam diskusi yang digagas Hendropriyono Strategic Conculting itu mengatakan, paham radikalisme berakar pada kekeliruan dalam memahami agama Islam.
Ansyaad juga menyebut radikalisme dan terorisme menjadi ancaman global saat ini. “Ini menjadi fokus utama negara-negara Islam. Bahkan Raja Arab Saudi, Raja Salman, datang ke Indonesia salah satunya adalah membahas masalah radikalisme,” pungkasnya.