Jakarta – Menjalankan kebebasan beragama sesuai dengan apa yang diyakini agaknya perlu menghargai etika sosial. Hal ini dimaksudkan agar perbedaan dalam menjalankan keimanan tidak menjadi penghambat lancarnya komunikasi antar masyarakat. Sikap tenggang rasa diharapkan bisa dikedepankan dalam membangun hubungan sesama manusia.
Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pdt. Jimmy Sormin, MA., menguraikan bahwa orang Indonesia perlu menyeimbangkan antara kebebasan beragama dengan etika sosial.
“Kita perlu mengingat dan menegakkan kembali prinsip yang ideal, bahwa kebebasan masing-masing individu juga dibatasi dengan kebebasan orang lain. Hak dan kebebasan yang melekat pada setiap manusia itu perlu diatur agar diakui, dipenuhi, dan dilindungi oleh negara, yakni melalui hukum yang telah berlaku,”ujar Pdt Jimmy Sormin di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Ia menambahkan, melalui penegakkan hukum yang tegas dan adil, masyarakat bisa terdidik untuk hidup dalam ketaatan akan hukum. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum yang berlaku akan membantu memperkuat etika sosial di masyarakat Indonesia.
Pdt. Jimmy yang menjabat sebagai Ketua Gugus Tugas Pemuka Agama BNPT, perwakilan dari PGI ini juga berujar bahwa sifat tenggang rasa adalah modal sosial yang telah diwariskan sejak nenek moyang bangsa Indonesia.
Menurutnya, kesadaran akan etika sosial harus dihidupkan kembali melalui praktik-praktik yang membangun masyarakat untuk saling peduli, menghargai, dan bekerja sama. Dengan begitu, tidak terjadi lagi benturan antara kebebasan beragama dan kenyamanan hidup bermasyarakat.
Bicara mengenai upaya membangun kesepahaman antar umat dengan ragam keyakinan, Pdt. Jimmy Sormin mengapresiasi langkah Pemerintah dalam menyisipkan nilai kebangsaan pada materi pendidikan formal maupun informal.
“Negara berkewajiban untuk memberi pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak bagi setiap warganya, apapun agama dan keyakinannya. Segala bentuk upaya pengembangan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan itu juga harus diiringi dengan penegakan hukum yang tegas dan adil,” ujarnya.
Dia pun berharap agar masyarakat sipil dapat saling berkolaborasi untuk terus membangun ruang-ruang perjumpaan dan dialog, serta menghayati nilai-nilai Pancasila dalam kesehariannya. Hal ini bisa diwujudkan melalui upaya menyejahterakan kehidupan bersama, agar tidak terjadi jurang yang lebar antarkelas sosial, menghormati kemanusiaan sesama anak bangsa, serta aksi-aksi bersama dalam merespons berbagai masalah yang terjadi tengah masyarakat.
Ketika ditanya tentang polemik penggunaan pengeras suara rumah ibadah yang terlalu keras, Pdt. Jimmy menanggapinya dengan santai. Menurutnya, masyarakat Indonesia memiliki akar budaya tenggang rasa yang cukup tinggi, sehingga mampu saling menghargai dan memberikan pengertian dalam kehidupan bertetangga.
“Sebenarnya di masyarakat kita umumnya memiliki modal sosial yang sudah mengakar lama, yakni saling menghargai dan mengedepankan kepentingan bersama. Hanya saja hal tersebut perlu direvitalisasi. Sekalipun sudah ada peraturan dari Pemerintah, khususnya oleh Kementerian Agama RI terkait hal tersebut, namun tanpa modal sosial tadi, peraturan dimaksud tidak akan ditaati oleh sebagian warga masyarakat,” tambahnya.
Ia menekankan, terlepas apapun rumah ibadahnya, seyogyanya menjadi sarana yang terus membantu menghadirkan kenyamanan dan keharmonian dalam masyarakat yang majemuk. Rumah ibadah seharusnya menjadi simbol perdamaian dan keindahan dalam hidup beragama.
Pdt Jimmy juga menyoroti soal kesenjangan sosial yang timbul akibat praktik intoleransi di masyarakat. Mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi antara Pemerintah dengan unsur civil society, khususnya dari organisasi masyarakat berbasis keagamaan.
Alumni Gadjah Mada University Studies Master of Arts (M.A.), Religious and Cultural Studies ini menjelaskan bahwa Pemerintah perlu bersinergi dengan seluruh stakeholders. Jika mengacu pada program pentahelix yang digagas BNPT, bersinergi artinya tidak semata ketika terjadinya permasalahan, tetapi lebih menerapkan perspektif pencegahan, serta mengupayakan prinsip pengakuan, pemenuhan, serta perlindungan bagi setiap warga negara secara konsekuen.
“Faktor-faktor penyumbang masalah kesenjangan sosial itu sendiri, seperti ekonomi, kesehatan dan pendidikan, harus diupayakan bersama untuk tidak terus menyulut kebencian atau tindakan negatif lainnya antarkelompok masyarakat. Perdamaian tanpa kehadiran keadilan bagi seluruh masyarakat tidaklah akan bertahan lama,” pungkas Pdt. Jimmy Sormin.