Hari Kesaktian Pancasila Tak Sekadar Ritual Tapi Ajakan Selami Makna Hakiki Pancasila

Jakarta – Hari Kesaktian Pancasila, yang diperingati setiap 1 Oktober,
bukan hanya sekadar ritual tahunan, melainkan ajakan bagi seluruh
rakyat Indonesia untuk menyelami kembali makna hakiki dari Pancasila
sebagai dasar kehidupan bangsa.

Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Benny Susetyo mengatakan tragedi kelam 30 September 1965 bukan sekadar
catatan sejarah, tetapi pengingat abadi bahwa di tengah ancaman
ideologi asing dan konflik politik, Pancasila menjadi tameng yang
menjaga keberlangsungan negeri ini.

Lebih dari sekadar seremoni, peringatan ini harus menjadi saat di mana
setiap individu memaknai ulang dan menghidupkan nilai-nilai Pancasila
dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, menjadikannya roh yang
membimbing langkah bangsa menuju masa depan yang lebih baik.

“Nilai-nilai inklusif Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial adalah fondasi kebangsaan
yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap keberagaman dan
kemanusiaan. Di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial,
tantangan terbesar yang kita hadapi bukan sekadar menjaga Pancasila
sebagai hafalan, tetapi memastikan agar “roso” dari Pancasila hidup
dalam setiap tindakan kita sebagai warga negara. Nilai-nilai seperti
keadilan sosial, penghormatan terhadap sesama, dan gotong royong harus
dihadirkan dalam kebijakan pemerintah, interaksi sehari-hari, hingga
ranah Pendidikan,” papar Benny.

“Generasi muda, yang kerap terputus dari pemahaman mendalam mengenai
sejarah bangsa, perlu dituntun untuk menginternalisasi Pancasila bukan
hanya sebagai simbol negara, melainkan sebagai falsafah hidup yang
menyatu dengan keseharian mereka.”

Pendidikan Pancasila, lanjut Benny, tak boleh berhenti di penghafalan
lima sila, namun harus meresap ke dalam hati dan perilaku melalui
sikap saling menghargai, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Dengan
demikian, memperingati Hari Kesaktian Pancasila bukan sekadar
mengenang masa lalu, tetapi menjadi ajang untuk menegaskan bahwa
Pancasila tetap relevan di tengah kompleksitas dan dinamika zaman.

“Lebih dari itu, Hari Kesaktian Pancasila harus menjadi pengingat
bahwa Pancasila adalah ideologi yang inklusif, yang mampu
mengakomodasi perbedaan dan menyatukan bangsa. Di tengah tantangan
global seperti meningkatnya individualisme, polarisasi politik, hingga
ancaman terorisme, nilai-nilai Pancasila harus kembali dihidupkan
sebagai kompas moral yang membimbing kita dalam bertindak dan
bersikap. Pancasila tidak boleh menjadi konsep kaku yang hanya dihafal
dalam teks, tetapi harus menjadi laku hidup yang nyata dalam setiap
tindakan kita sebagai warga negara.”

Ia menambahkan, sikap saling menghormati dan keadilan sosial yang
terkandung dalam Pancasila harus menjadi fondasi yang kokoh dalam
perilaku politik para pemimpin serta interaksi sosial masyarakat.
Pancasila tidak hanya menuntut komitmen moral, tetapi juga
keberpihakan yang nyata dalam tata kelola pemerintahan—bersih,
transparan, dan melayani rakyat.

“Ketika nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan terwujud dalam kebijakan
pemerintah, kepercayaan publik terhadap negara akan semakin kuat. Hal
ini menegaskan bahwa Pancasila adalah jawaban yang mampu menjembatani
tantangan-tantangan demokrasi modern yang kerap memicu fragmentasi
sosial.”

Di era teknologi dan digitalisasi, ucap Benny, pendidikan nilai-nilai
Pancasila juga harus mengalami transformasi. Generasi muda, sebagai
tonggak masa depan bangsa, perlu didekatkan pada pemahaman Pancasila
yang relevan dengan realitas zaman. Salah satunya melalui media
sosial, film pendek, atau narasi-narasi kreatif yang menampilkan
aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dunia yang semakin terhubung, Pancasila harus dilihat bukan
sekadar sebagai ideologi nasional, tetapi juga sebagai panduan yang
relevan untuk menjawab kebutuhan persatuan dalam keberagaman. Ini
adalah ajakan untuk menghidupkan kembali semangat kebangsaan yang
harmonis, sekaligus merangkul perubahan zaman tanpa meninggalkan
identitas bangsa.

Pada akhirnya, pelaksanaan Pancasila bukanlah tugas satu hari, tetapi
sebuah perjalanan panjang dalam membentuk karakter bangsa yang kuat.
Aktualisasi “Roso Pancasila” dalam kehidupan sehari-hari menjadi bukti
kesaktian Pancasila yang sebenarnya sebuah ideologi yang mampu
bertahan dan terus relevan, bukan karena dipaksakan, tetapi karena
dihidupkan dan dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari
mencerminkan betapa pentingnya Roso Pancasila yang dirasakan bukan
hanya sebagai ideologi negara, tetapi sebagai pedoman moral dalam
berinteraksi sosial, politik, dan ekonomi.

Pancasila mengajarkanuntuk  menghargai kemanusiaan, menjunjung tinggi
keadilan, dan merawat persatuan, terutama di tengah masyarakat yang
semakin beragam dan kompleks. Kesaktian Pancasila bukan terletak pada
doktrin yang dipaksakan, melainkan pada kemampuannya untuk menjiwai
setiap tindakan warga negara. Jika nilai-nilai Pancasila
diaktualisasikan dengan konsisten, Indonesia dapat menjadi bangsa yang
lebih inklusif, toleran, dan adil.

“Inklusivitas Pancasila terlihat dalam bagaimana setiap sila memberi
ruang bagi semua golongan dan agama untuk hidup berdampingan dengan
damai. Di sinilah peran generasi muda sangat penting, sebagai agen
perubahan yang tidak hanya menghafal Pancasila, tetapi juga
menghidupkan nilai-nilainya dalam perilaku sehari-hari,” ujar Benny.