Grant Wardlaw dalam bukunya “Political Terrorism” (1982) menjelaskan bahwa manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia.
Berdasarkan data yang dilansir oleh Wonderslist yang menyebutkan 10 serangan Teroris terdahsyat di dunia di-antaranya Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, serangan bom bunuh diri menggemparkan para wisatawan di Kuta, Bali. Serangan itu menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia, 38 Indonesia, 27 Inggris, 7 Amerika, 3 Swedia, dan 3 Denmark. Pembunuhan di Assam pada 23 Desember 2014, lebih dari 85 orang, termasuk 20 anak, dibunuh di wilayah Assam, India, dalam serangkaian serangan teroris di distrik Kokrajhar, Sonitpur, dan Chirang.
Serangan itu diduga dilakukan oleh militan Front Demokrasi Nasional Bodoland. Serangan Kelompok militan ISIS telah membunuh ribuan orang menggunakan banyak serangan bom saat berupaya menguasai seluruh wilayah Suriah dan Irak. Bahkan kelompok ekstremis ini telah melebarkan sayapnya dengan mencoba menguasai banyak wilayah seperti Mesir, Libya, Nigeria, dan Somalia
Indonesia merupakan salah satu Negara yang tidak luput dari aksi Terorisme. Pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya penanggulangan Terorisme dengan beberapa pendekatan. Pendekatan keras dan lunak adalah dua alternatif dalam mengkounter perkembangan paham Radikal-Terorisme. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai representasi Negara dalam melakukan pencegahan dan deradikalisasi mengupayakan pendekatan persuasif dengan melibatkan masyarakat dan penyadaran Mantan Napi Teroris, Keluarga dan Jaringannya.
Penguatan nilai budaya, pendidikan literasai media dan penggalangan organisasi kemasyarakatan merupakan bagian dari upaya untuk menghambat perkembangan paham Radikal-Terorisme. Mengingat akan bahaya laten kejahatan terorisme. Nilai budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusian menjadi salah satu alternatif untuk menghambat aksi kekerasan.
Misalnya, budaya Bugis dalam masyarkat Sulawesi Selatan. Nilai budaya dijadikan Adat dan menjadi norma dalam berinteraksi sesama Masyarakat. Falsafah Sipa 3 dalam budaya Bugis merupakan salah satu norma yang dijunjung tinggi oleh Suku Bugis. Falsafah Sipa 3 terdiri dari Sipakatau, Sipakalebbi dan Sipakainge.
Sipakatau adalah konsep yang memandang setiap manusia sebagai manusia. Manusia hendaklah saling memperlakukan sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidaklah pantas memperlakukan orang lain di luar perlakuan yang pantas bagi manusia. Konsep tersebut sangat mengedepankan sikap penghargaan terhadap manusia. Nilai ini mengajarkan memperlakukan manusia lain sama dengan memperlakukan diri sendiri.
Sipakalebbi adalah konsep yang memandang manusia sebagai mahluk yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik dan selayaknya. Nilai ini menginginkan agar manusia memandang manusia lain dengan segala kelebihannya, saling memuji akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan, hingga siapapun yang berada dalam kondisi tersebut akan senang dan merasa tentram.
Sipakainge adalah sikap saling mengingatkan antar sesama manusia. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Adakalanya manusia terpeleset, kondisi inilah manusia harus saling mengingatkan, sehingga siapapun akan selalu diingatkan untuk berjalan di jalan yang lurus.
Aksi kekerasan yang menimbulkan ribuan korban jiwa oleh kelompok radikal-terorisme menjadi alasan bagi budaya Bugis untuk tidak memberi ruang bagi paham tersebut. Pemahaman yang dianutnya sangat bertentangan dengan Adat Suku Bugis termasuk nilai falsafah Sipa 3.
Akatualisasi falsafah sipa3 di tengah Masyarakat akan menciptakan kedamaian antar manusia. Sipa 3 akan melahirkan sikap toleransi, saling menghargai dan menghormati sesama Manusia, Sehingga ruang untuk kelompok radikal-terorisme akan sulit berkembang. Ketiga nilai diatas sekaligus menegaskan bahwa paham Radikal-Terorisme sesungguhnya tidak bisa diterima oleh bangsa Indonesia, khususnya bagi Masyarakat Sulawesi Selatan.
Mundukung paham radikal-terorisme merupakan sebuah pelanggaran adat yang akan dijatuhi sangksi sosial. Sangksi tersebut merupakan rasa malu bagi diri sendiri, orang tua, kerabat dan lingkungan terhadap masyarakat luas. Penolakan terhadap paham radikal-terorisme merupakan bagian dari aktualisasi nilai budaya Bugis untuk mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan negara.