Hadapi Tantangan Keamanan Lintas Batas, Mendagri: Penting Saling Memahami dan Kolaborasi Efektif Nonstate Actors

Doha – Saling memahami serta menjalin kolaborasi efektif dengan
nonstate actors sangat penting dalam menghadapi tantangan keamanan
yang semakin kompleks dan lintas batas.

Hal itu disampaikan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri)
Muhammad Tito Karnavian, saat menyampaikan pidato kunci dalam forum
internasional Global Security Forum (GSF) 2025 di Doha, Qatar, pada
28–30 April 2025. Forum ini mengangkat tema keamanan global, dengan
fokus pada peran non state actors dalam dinamika keamanan
transnasional.

“Indonesia memandang nonstate actors sebagai entitas yang memainkan
peran signifikan dalam lanskap keamanan saat ini. Mereka terbagi ke
dalam dua kategori: hostile nonstate actors yang menjadi ancaman
terhadap stabilitas, dan friendly nonstate actors yang dapat menjadi
mitra strategis dalam menjaga perdamaian dan keamanan,” ujar Mendagri
Tito.

Mendagri menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri sekaligus
Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdurahman Al Thani,
Menteri Dalam Negeri Qatar Khalifa bin Hamad bin Khalifa Al Thani,
serta kepada Ali Soufan dari The Soufan Center, atas penyelenggaraan
forum yang menjadi ajang penting pertukaran pandangan dan penguatan
jejaring internasional.

Ia memaparkan pengalaman Indonesia dalam menghadapi kelompok ekstremis
kekerasan yang memiliki keterkaitan internasional, seperti Jemaah
Islamiyah yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, serta Jamaah Ansharut
Daulah yang terkait dengan ISIS.

Tak hanya itu, Mendagri juga mengangkat isu konflik bersenjata yang
telah dihadapi Indonesia, seperti dengan kelompok separatis Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Mendagri Tito menyoroti tantangan kejahatan transnasional yang turut
melibatkan kolaborasi antara non state actorsdomestik dan asing,
seperti penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber,
serta eksploitasi ilegal sumber daya alam.

Aktivitas semacam ini, menurutnya, tidak hanya mengganggu stabilitas
keamanan nasional tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi negara.

Baca juga: Parlemen Hungaria Setujui Swedia Gabung NATO, Perkuat
Pertahanan dan Keamanan Global

Namun di sisi lain, ia juga menegaskan pentingnya peran friendly non
state actors dalam menjaga keamanan dan mendukung upaya perdamaian.

Ia menyebut keberhasilan proses damai di Aceh sebagai contoh nyata,
yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan
Presiden Finlandia saat itu, Martti Ahtisaari, serta tokoh mediator
Juha Christensen, yang kemudian bergabung dengan Asian Peace and
Reconciliation Center.

Dalam konteks penanganan terorisme, Indonesia juga bekerja sama dengan
lembaga-lembaga kajian terkemuka.

“Indonesia juga banyak terbantu oleh kerja sama dengan lembaga kajian
seperti International Crisis Group yang dipimpin oleh Sidney Jones,
serta Rajaratnam School of International Studies dari Nanyang
Technological University (NTU), Singapura,” ujarnya.

Lembaga-lembaga ini memberikan analisis berbasis riset yang mendalam
terhadap jaringan terorisme, termasuk wawancara dengan tokoh-tokoh
kunci di dalamnya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Mendagri menyampaikan dua rekomendasi
utama dalam forum internasional tersebut.

Pertama, memperkuat kerja sama antarnegara tidak hanya pada tingkat
strategis, tetapi juga operasional antar aparat keamanan. Kedua,
melibatkan friendly non state actors seperti LSM, lembaga riset, dan
komunitas sipil lainnya dalam strategi pencegahan dan penanggulangan
ancaman dari hostile non state actors.

“Forum ini merupakan contoh nyata bagaimana kolaborasi antara negara,
lembaga kajian, dan organisasi internasional seperti The Soufan Center
dapat memperkuat kerja sama lintas batas dalam menghadapi ancaman
global,” tegas Mendagri Tito.

Global Security Forum sendiri merupakan forum keamanan internasional
tahunan yang pertama kali diselenggarakan pada 2018.

Ajang ini mempertemukan para pemimpin dunia dan pakar keamanan untuk
membahas isu-isu strategis, termasuk terorisme, kejahatan siber, dan
mediasi konflik.