Yogyakarta — Rekrutmen remaja oleh jaringan teroris melalui media sosial dan platform digital semakin mengkhawatirkan. Kelompok radikal dinilai makin canggih memanfaatkan teknologi komunikasi untuk menyebarkan ideologi secara masif sekaligus tersembunyi. Peringatan itu disampaikan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Suciati, S.Sos., M.Si., dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, Senin (24/11/2025).
Menurut Suciati, karakter platform digital yang interaktif, tak dibatasi ruang dan waktu, serta mampu membentuk kedekatan personal dalam waktu singkat, menjadi celah yang dimanfaatkan para perekrut. “Brainwash yang dahulu dilakukan secara tatap muka, kini bisa berlangsung sepenuhnya secara online. Ideologi radikalisme dan terorisme sangat mungkin menyusup ke ruang-ruang digital,” ujarnya.
Ia menyebut dua faktor utama yang membuat remaja menjadi sasaran empuk jaringan teroris: kecanduan gim atau media sosial, serta kondisi keluarga yang tidak harmonis. Remaja yang mengalami kecanduan gim cenderung menghabiskan banyak waktu di dunia virtual, kurang tidur, dan memiliki kontrol diri yang lebih lemah. Situasi itu makin rentan jika perhatian keluarga minim.
“Mereka yang kecanduan dan tidak mendapat dukungan keluarga mudah diarahkan menuju platform tertentu yang memang disiapkan para perekrut,” jelasnya.
Suciati menilai Generasi Z lebih nyaman beraktivitas di ruang privat dan kurang terlibat dalam interaksi sosial langsung. Ketergantungan pada komunitas digital pun meningkat, termasuk pada kelompok yang telah disusupi narasi ekstrem. Dari sudut psikologi komunikasi, proses radikalisasi digital sulit dikenali pada tahap awal; perubahan sikap biasanya baru tampak ketika remaja mulai menunjukkan perilaku ekstrem.
“Kasus pelajar SMA di Jakarta yang beberapa waktu lalu mencoba meledakkan bom adalah contohnya. Perilaku itu muncul setelah ia lama berinteraksi dengan kelompok radikal melalui platform gim daring,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa upaya pencegahan tidak dapat dibebankan pada satu pihak saja. Keluarga, sekolah, dan pemerintah harus bergerak bersama membangun pola perlindungan yang terintegrasi.
“Keluarga adalah lini pertama. Orang tua harus hadir secara empatik, membangun komunikasi terbuka, dan menjadi significant others bagi anak. Jika keluarga absen, anak akan mencari pengganti di media sosial,” katanya.
Sekolah, lanjutnya, berperan penting memperkuat literasi media agar siswa mampu berpikir kritis dan tidak terjebak dalam kecanduan digital. Pemerintah perlu memastikan regulasi berjalan ketat, termasuk pemblokiran gim atau platform yang terindikasi menjadi medium jaringan radikal. Anak yang sudah menunjukkan kecanduan digital juga memerlukan terapi dan rehabilitasi.
“Regulasinya harus jelas. Gim yang tidak aman perlu diblokir, dan anak yang sudah kecanduan harus mendapatkan terapi,” tegasnya.
Suciati mengingatkan bahwa rekrutmen teroris secara digital bukan sekadar persoalan teknologi, tetapi problem psikososial yang kompleks. Karena itu, pencegahannya harus melibatkan seluruh ekosistem, mulai dari keluarga, institusi pendidikan, hingga negara. Dengan kolaborasi menyeluruh, ia berharap ancaman radikalisasi digital terhadap generasi muda dapat ditekan.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!