Jakarta – Indonesia baru saja memperingati Hari Nusantara yang merupakan bentuk penghargaan atas Deklarasi Djuanda, yang kembali menyatukan wilayah dan lautan nusantara yang luas dalam kesatuan yang utuh NKRI.
Berbicara mengenai paradigma nusantara tentu bukan hanya persoalan politik, tetapi juga penting dalam dakwah hari ini. Dakwah harus mampu membingkai ke-nusantara-an dalam budaya dan lokalitas yang ada sehingga terbentuk moderasi beragama yang semakin menguatkan persatuan.
Guru Besar Bidang Psikologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, M.A, mengatakan bahwa dengan dakwah yang santun dan yang bisa menyentuh masyarakat, maka sejatinya para ulama dan pemuka agama ini dapat membuat masyarakat menjadi lebih bisa tenang.
”Sebaiknya dakwah-dakwah seperti ini yang didukung oleh pemerintah, jangan menghadapi dakwah-dakwah semacam ini dengan cara-cara intimidasi. Sepanjang ulama yang menyampaikan dan isi dakwahnya tidak membahayakan keamanan negara maka biarkan saja,” ujar Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, M.A, di Jakarta, Rabu (16/12/2020).
Pria kelahiran Purwokerto, 15 Desember 1945 itu meyayangkan jika ada pihak-pihak yang berusaha membenturkan antara ulama dengan aparat. Karena menurutnya jika hal semacam ini dihadapi dengan manuver militer malah bisa membuat perlawanan semakin kuat yang bisa berujung terpecah belah.
”Jangan sampai di masyarakat muncul anggapan bahwa agama dizalimi, ulama dikriminalisasi dan segala macam. Harus dijelaskan siapa yang pegang kendali saat ini, Presiden memberi contoh dan arahan kepada bawahannya,” tutur anggota MPR RI periode 1999-2004 itu
Lebih lanjut, Achmad menyebut bahwa dirinya sesunggunya adalah orang yang secara ideologis, beraliran nasionalis religius sama dengan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga dia mengharapkan pemerintah dalam kebijakannya memberikan contoh yang tegas dan jelas jangan malah membingungkan dan menjadi perdebatan di masyarakat.
”Harusnya kita berhenti saling curiga untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa ini. Jangan seperti kemarin salah satu menteri membuat statemen mencurigai penghafal Qur’an, ini kan malah membuat para ulama bingung,” jelasnya.
Achmad menambahkan bahwa dirinya prihatin dengan kondisi saat ini karena adanya sikap saling curiga itu malah ulama yang sering menyuarakan dukungan kepada pemerintah malah dianggap antek-antek pemerintah. Bahkan menurutnya, karena hal tersebut, saat ini semua langkah pemerintah menjadi dicurigai.
”Mari kita berhenti saling mencurigai, sudah saatnya untuk kita saling merangkul antar sesama anak bangsa. Misalnya kemarin seperti kasus yang akhir-akhir ini, pemerintah sebaiknya menemuinya atau bahkan merangkulnya, jangan malah dihadap-hadapkan dengan aparat,” ucap Direktur Pascasarjana Universitas Islam As Syafi’iyah (UIA) (2001-2002) itu.
Selain itu dirinya menyebut, kalau soal Khilafah itu sudah jelas utopis, tidak mungkin ada di negeri ini. Karena di negeri lain Khilafah itu juga ditolak semua. Menurutnya hal itu muncul karena ada sponsornya dari asing yang tujuannya untuk mengadu domba masyarakat bangsa ini.
”Maka pemerintah sebaiknya adakan saja pertemuan para alim ulama, minta tolong saja kepada ulama terkenal seperti Habib Lutfi karena dia dianggap netral oleh semua pihak,” kata Achmad.
Karena menurutnya pemerintah butuh ulama seperti Habib Lutfi, meskipun beliau menjadi Watimpres namun tidak dicurigai sebagai antek pemerintah karena beliau bisa menjaga netralitasnya. Karena menurutnya seharusnya ulama dan umara’ itu harusnya berjalan beriringan. Ia menyebut perlu ada forum komunikasi antara ulama dan umara ini.
”Dibuat seperti seminar saja maka nanti akan ketemu itu, kalau sudah saling ketemu dan bicara maka nanti yang dibawah-bawahnya juga akan meniru. Jadi kalau ada ulama yang dianggap bersebarangan dekati saja langsung dengan jiwa besar, sepanjang tidak menjadi ancaman keamanan,” tuturnya.