Jakarta – Terorisme ibarat gunung es yang cuma terlihat sedikit di puncaknya. Dan puncak yang cuma terlihat sedikit itulah yang selama ini jadi target tindakan Polri untuk menggerusnya. Bukan target menggerus dari sisi bawah atau bagian hulunya yang justru tak terlihat.
Padahal, potensi ancaman terbesar terorisme selalu muncul dari sisi bawah atau bagian hulu. Selama bagian hulu tak diantisipasi dan digerus, maka selama itu juga potensi ancaman teroris bisa sewaktu-waktu muncul, bahkan tanpa terdeteksi sebelumnya.
Demikian analisis yang disampaikan Gubernur Akademi Kepolisian, Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel saat menjadi pembicara di acara seminar ‘Kebijakan Anti-terorisme di Era Demokratisasi di Indonesia’, di Kampus Pascasarjana Universitas Nasional, Ragunan, Jakarta, Sabtu (15/12).
“Selama ini tindakan pencegahannya selalu menjadikan puncak sebagai target. Di masa depan, polisi sudah harus mengutamakan pencegahan dengan target hulu, terutama untuk terorisme. Sudah harus dicegah sejak orang baru berpikir,” jelasnya.
“Kemudian dengan UU terbaru yang semakin proaktif, artinya lebih mengedepankan upaya-upaya pencegahan dari hulu ke hilir,” sambungnya lagi.
Dikatakannya juga, pemerintah sudah menyadari penuh bahwa kejahatan terorisme adalah suatu kejahatan yang luar biasa dan sangat serius, sehingga penanganannya harus secara luar biasa dan harus dilaksanakan secara khusus. Penanganan tersebut, Rycko menambahkan, sejak dari proses perundangundangan, persiapan, dan pelibatan dari lembaga negara.
“Kejahatan teoris ini sangat serius sehingga penanganannya juga harus ekstra karena membahayakan ideologi, keamanan, kedaulatan negara, semua aspek kehidupan, serta jaringannya luas dan lintas negara,” papar peraih Adhi Makayasa Akpol 1988 ini.
Lebih lanjut, mantan Kapolda Sumatera Utara ini menjelaskan, kebijakan pemerintah dalam pemberantasan terorisme di Indonesia tentunya tidak terlepas dari cita-cita nasional Indonesia, di mana salah satunya adalah melaksanakan perdamaian dunia. Untuk itu harapanya, dengan dilakukan pencegahan dari sisi hulu, tindakan terorisme di Indonesia akan semakin berkurang, bahkan tidak ada lagi.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Hamli, turut menambahkan, jika dari hulu terorisme tidak diselesaikan, maka permasalahan tersebut tidak akan tuntas.
“Terosisme itu tidak serta merta dimulai dari intoleransi, lalu radikalisme, lalu terorisme. Sebenarnya kalau sudah aksi itu mudah bisa ditangkap dan hukum, yang susah yang masih di kepala,” jelasnya.
Menurut Hamli, radikalisme saat ini sudah masuk ke ranah sekolah dan universitas, sehingga sangat membahayakan generasi muda. Ia menambahkan, bahwa tugasnya dan BNPT-lah yang masuk untuk mendeteksi sedini mungkin akar-akar dari terorisme, agar dapat dilakukan pencegahan.
Sementara itu, Akademisi Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Sidratahta Mokhtar, mengatakan ada beberapa teori kunci yang menyebabkan terorisme muncul di Indonesia. Pertama, terorisme berasal dari negara semi demokrasi dan masuk ke Indonesia dengan menimbulkan konflik.
“Kedua adalah teorisme di Indonesia berdasarkan kekecewaan, kemiskinan, dan religious motivation terorism. Terakhir, terorisme ini bisa dikategorikan sebagai partisipasi politik non konvensional,” imbuhnya.
Sedangkan akademisi AIPI lainnya, TB Massa Djafar, mengatakan ada dua hal yang harus dipahami dalam terorisme. Pertama, masyarakat harus memahami teroris secara proporsional, yaitu bagaimana teroris ini muncul sebagai politik kepentingan.
“Kedua, terorisme itu sebagai exist, orang lebih antusias terhadap bahaya dari terorisme. Tidak membicarakan bagaimana penguasaan sumber daya alam, pendekatan yang tidak fair, isu domestik juga orang tidak peduli. Dan ini ketimpangan sosial yang setiap saat ini bukan persoalan hilir, tetapi hulu, terorisme itu sebagai modus saja,” tandasnya.