Malang – Doktrinasi kelompok teror sangat berbahaya karena bisa dengan mudah mencuci otak para generasi muda untuk melakukan aksi kekerasan. Dan dunia maya melalui media sosial telah dijadikan alat oleh kelompok radikal dalam menyebarkan propaganda kepada para generasi muda. Selama ini setidaknya sudah banyak para remaja di Indonesia yang menjadi pelaku teror karena korban doktrinasi.
Hal tersebut dikatakan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME, saat memberikan paparannya pada acara seminar “Gerakan Sekolah Anti Radikalisme” di kalangan pelajar SMA sederajat di Kota Malang, Kamis (19/4/2018). Seminar ini digelar BNPT bersama Banter (Barisan Anti Terorisme) selaku penggiat media sosial yang merupakan bagian dari Duta Damai Dunia Maya bentukan Pusat Media Damai BNPT.
Brigjen Pol Hamli pun menampilkan sebuah video yang menggambarkan korban anak muda yang terpedaya doktrin kelompok teror, yakni Dani Dwi Permana yang nerupakan pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot, Jakarta pada tahun 2009 silam.
“Doktrinasi mudah menguasai kepala seorang pelaku teror sehingga mereka bisa meyakini kejahatan terorisme sebagai sebuah perjuangan yang mengatasnamakan agama. Ini tentunya berbahaya sekali kalau sampai generasi muda kita ini gampang sekali dipengaruhi dengan ayat-ayat agama,” ujar Brigjen Pol. Hamli.
Lebih lanjut alumni Sepamilsuk ABRI tahun 1989 ini menjelaskan, bom bunuh diri yang dilakuakn Dani tersebut bukan karena putus asa. Dia sadar bahwa dia melakukan itu atas perintah Tuhan dan atas perintah agama.
“Itu adalah sebuah doktrin yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang menginginkan sesuatu, menginginkan kekuasaan, menginginkan perubahan sebuah negara dengan mengganti Pancasila dengan ideologi mereka dengan cara jadi bom bunuh diri,” ujar Brigjen Hamli.
Dirinya meminta kepada para generasi muda untuk waspada dan berhati-hati apabila suatu hari bertemu dengan orang yang menyuruh atau atas nama agama untuk melakukan hal seperti itu. “Jangan mau anda disuruh-suruh sesuatu yang tidak diajak baik untuk oleh orang tua guru maupun orang-orang yang tidak anda kenal sebelumnya,” ujarnya.
Alumni Teknik Kimia ITS Surabaya ini mengatakan, radikalisme dan terorisme yang terjadi seperti ini bisa terjadi pada semua agama. Bahkan dalam sejarah terorisme di semua negara, aksi terorisme terjadi dengan berbagai latar belakang yang berbeda.
Dari data riset INSEP tahun 2012, menurut Hamli motif pelaku terorisme sangat beragam. Motivasi ideologi agama sebesar 45,5 persen, 20 persen karena perasaan solidaritas komunal, Mob mentality sebesar 12,7 persen, motif balasa dendam sebesar 10,9 persen, situasional 9,1 persen, dan separatisme sebesar 1,8 persen.
“Saya mengajak adik-adik semuanya ini untuk dapat memahami agama secara utuh dan menyeluruh karena radikalisme dan terorisme diawali dengan pemahaman keagamaan yang keliru, pemahaman keagamaan secara sempit dan terbatas.” tegas Hamli.
Alasan ideologis keagamaan menjadi sangat besar sebagai motivasi pelaku teror. Kelompok radikal terorisme memaknai jihad secara terbatas dan sempit bahwa jihad sebagai perang. Doktrin perang ini dimanfaatkan untuk mendoktrin anak muda untuk melakukan perlawanan.
“Padahal makna jihad itu luas sekali. Menuntut ilmu itu merupakan jihad, bekerja dengan baik merupakan jihad, komitmen untuk terus berbuat baik juga merupakan jihad,”ujar Hamli
Hamli mengajak generasi muda untuk memiliki kemampuan kontra narasi dan memiliki komitmen untuk menjaga perdamaian yang terjadi di tengah masyarakat. Konflik yang terjadi di tengah masyarakat rentan dimanfaatkan kelompok radikal terorisme untuk meradikalisasi masyarakat.
“Konflik ini dapat dijadikan alat kelompok terorisme sebagai bentuk ajakan solidaritas komunal yang sempit untuk memecah belah antar suku, agama dan kelompok,” ujanrya.
Situasi yang kacau, menurutnya, merupakan ladang subur bagi kelompok teror untuk mendoktrin dan mengajak masyarakat untuk bersimpati dalam aksi teror. Bahkan pelajar tingkat SMA pun sekarang ini sudah sudah mulai dimasukin oleh kelompok-kelompok radikal. Dari hasil penelitian Ma’arif Institute, ada dari 3 cara pemahaman radikal ini masuk ke tingkat SMA.
“Pertama melalui oknum sekolah itu sendiri baik itu dari kepala sekolah. Ini karena ketidaktahuan dari kepala sekolah itu sendiri mengenai pemahaman itu. Lalu kedua melalui guru agama, kalau orang ini keras pikirannya itu dikasihkan kepada anak ini ditransfer pemikiran mengenai paham-paham radikal itu. Lalu yang ketiga melalui alumni SMA itu sendiri yang memberikan transfer pemahaman radikal itu,” ujar mantan Kabid Pencegahan Densus 88/Anti Teror Polri ini.
Di akhir paparannya Brigjen Hamli kembali menegaskan kepada para pelajar SMA untuk mencerna bahwa kita berada di negeri Indonesia ini adalah negeri yang berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI.
“Jadi kalau ada kelompok tertentu yang menginginkan dirubahnya ini tolong saja ditolak. Kepada kawan kawannya kemudian guru-guru juga harus mulai menyadari dan mengantisipasi jangan sampai kemasukan paham tersebut karena sasarannya adalah sekolah sekolah yang bagus itu sekarang menjadi sasaran, universitas-universitas yang bagus juga menjadi sasaran mereka,” ujarnya mengakhiri.