Prigen – Dunia semakin borderless atau tidak terbatas. Kemajuan
teknologi digital membuat akses informasi dan komunikasi yang sangat
cepat. Ironisnya, kemajuan teknologi digital itu justru dimanfaatkan
oleh kelompok radikal terorisme untuk melancarkan serangan
progandanya. Karena itu generasi muda atau generasi milenial harus
bisa ‘menggenggam’ dunia yang semakin borderless untuk melindungi
masyarakat dari serangan radikal terorisme.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Prof. Dr. Irfan Idris, MA, mengatakan, peran generasi muda sangat
vital untuk melakukan kontra narasi melawan propaganda radikal
terorisme terutama di dunia maya. Pasalnya, generasi muda adalah
pengguna terbesar teknologi digital dan media sosial. Hal itu
disampaikan Prof Irfan saat memberikan pembekalan kepada peserta Rapat
Koordinasi Nasional Duta Damai Dunia Maya dan Duta Santri 2023 di
Hotel Grand Senyiur, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (8/10/2023).
“Tahun ini sedikit berbagangga meski dengan berbagai kekurangan
anggaran dan itu selalu menjadi alasan klasik. Kedepan kita
menggunakan prinsip BPKP, the money follows programe. Bicara program,
kita harus membanjiri media sosial dengan kontra narasai, kontra
propaganda, dan kontra ideologi. Selama ini sudah berjalan, kedepan
ada program unggulan Kepala BNPT yang telah disetujui Komisi III DPR
RI sebagai langkah dalam mereduksi dan menenangkan hati dan pikiran
masyarakat yang terpapar,” terang Direktur Pencegahan BNPT.
Ia mengungkapan, BNPT melalui Subdit Pemberdayaan Masyarakat terus
melakukan update terkait Indeks Resiko Teorisme dan Indeks Potensi
Radikal di 34 provinsi. Sementara dalam survei Setara Institute, dari
80 persen responden tidak paham khilafah yang akhirnya khilaf, gegabah
dan panik. Data inilah yang harus dipahami sehingga duta damai dunia
maya dan duta santri harus aktif menyebarkan narasi kedamaian,
nasionalisme, dan toleransi.
“Makanya kita harus cerdas bermedia sosial. Dunia maya harus kita
penuhi dan banjiri narasi-narasi positif dan damai. Ini yang perlu
dilakukan duta damai dan duta santri,” kata Prof Irfan.
Ia menambahkan bahwa kalau diukur tingkat kedamaian, Indonesia pasti
negara paling damai. Namun demikian generasi muda tidak boleh terlena.
Pasalnya ancaman radikalisme dan terorisme yang memanfaatkan keragaman
Indonesia sangat besar.
“Kita harus terus duduk bersama mempebesar persamaan dan memperkecil
perbedaan. Biarlah perbedaan itu kita simpan dalam hati. Narasi
seperti ini yang harus kita viralkan,” ucapnya.
Pada kesempatan itu, Direktur Pencegahan BNPT mengungkapkan tipe-tipe
radikal yang terdiri dari radikal polirik, radikal keyakinan, dan
radikal aksi. Radikal politik ini terkait dengan tahun politik dimana
tahun 2024 Indonesia akan menggelar Pemilu untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden serta wakil rakyat. Seperti diketahui, kelompok radikal
juga menggunakan kendaraan politik untuk memuluskan ambisinya merusak
NKRI.
“Kita harus jadi garda terdepan menciptakan kesejukan, jangan
terprovokasi. Tahun politik banak benih disintegrasi bangsa. Intinya,
radikal politik itu ujung-ujungnya mau membuat negara bangsa menjadi
negara agama,” ungkapnya.
Kemudian radikal keyakinan, menurutnya, ini tidak terlepas dari
keberadaan sel-sel kelompok radikal yang masih bertebaran. Seperti di
Lampung ada khilafatul muslimin, di Jawa Barat dan NII, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok itu biasanya menggunakan politik identitas terutama
agama yang memunculkan tindakan intoleran.
Sementara radikal aksi, kata Prof Irfan, seperti tawuran dan aksi-aksi
kekerasan lainnya. Intinya dari pemikiran-pemikiran radikal diatas
akan menjurus pada aksi terorisme.
Ia juga menjelaskan terkait ciri terorisme antara lain bagaimana orang
menolak Pancasila. Bahkan dalam doktrin-doktrinya, kelompok radikal
memunculkan pertanyaannya apakah memilih Alquran atau Pancasila?. Itu
sudah mulai ditanamkan. Hal ini harus diketahui oleh duta damai dan
duta santri.
“Yang pasti motifnya ideologi sementara ideologi kita adalah
Pancasila. Pancasila sudah selesai, dan sama sekali tidak bertentangan
dengan narasi agama. Pancasila menjadi perekat kita, bukan karena
agama berbeda, justru karena kita memang berbeda.Kita jadi kuat karena
kita berbeda, kita mau karena kita berbeda,” tegas Irfan.