Gawat! Wartawan Mulai Jadikan Media Sosial sebagai Sumber Pemberitaan

Samarinda – Indonesian Journalits Technographics Report pada tahun 2012 – 2013, merilis 85% media massa pers mulai menjadikan media sosial sebagai sumber utama dalam pembuatan berita. Dewan Pers menilai hal tersebut sebagai kondisi yang mengkhawatirkan.

Anggota Dewan Pers, Anthonius Jimmy Silalahi, di kegiatan dialog Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat di Kota Samarinda, Kamis (20/7/2017), menekan apa yang terdapat dalam media sosial adalah informasi. Untuk menjadikannya sebuah pemberitaan, institusi media massa pers harus menjalankan mekanisme sesuai standar pembuatan berita.

“Harus ada verifikasi, cek dan ricek kebenarannya, serta konfirmasi kepada pihak-pihak yang berkaitan. Standarisasi dalam pembuatan berita harus dijalankan,” kata Jimmy.

Dalam paparannya Jimmy merinci, dari 362 responden 50% di antaranya megakui menemukan ide pembuatan berita dari media sosial, sementara 58% lainnya menjadikan media sosial sebagai sumber data. “Yang mengkhawatirkan, sebanyak 28 persen lainnya melakukan verifikasi kebenaran data juga melalui media sosial. Padahal sebagai institusi pers, media harus melakukan konfirmasi dan klarifikasi sesuai standar pembuatan berita,” tegasnya.

Penggunaan media sosial sebagai sumber pemberitaan diakui oleh Jimmy bukan hal yang salah, terlebih di era new media saat ini. Akan tetapi institusi pers memiliki kewajiban melakukan klarifikasi dan konfirmasi.

“Jangan sampai pers menjadi corong terorisme hanya karena tidak melakukan klarifikasi,” tambah Jimmy.

Untuk menumbuhkan pentingnya klarifikasi dan konfirmasi atas setiap informasi di media sosial ketika akan diberitakan, Jimmy mengakui pihaknya menggandeng 3 organisasi profesi kewartawanan yang sudah diakui oleh Dewan Pers, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Ketiga organisasi profesi kewartawanan tersebut diminta ikut aktif mengingatkan anggotanya perihal klarifikasi dan konfirmasi tersebut.

“Kenapa kami menggandeng organisasi profesi (kewartawanan)? Karena mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mengontrol anggotanya,” pungkas Jimmy.

Dialog Literasi Media sebagai Upaya Cegah dan Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat merupakan salah satu metode yang dijalankan dalam kegiatan Pelibatan Media Massa Pers dalam Pencegahan Terorisme. Satu metode lainnya adalah Visit Media, kunjungan dan diskusi ke redaksi media massa pers.

BNPT dan FKPT di 32 provinsi se-Indonesia pada tahun 2017 juga menyelenggarakan lomba karya jurnalistik, yang mengangkat tema kearifan lokal sebagai sarana pencegahan terorisme. [shk/shk]